Juni 21, 2008

Tafsir QS. al-Fatihah: 7

Menapaki Jalan Hidup Kaum Saleh

------
“Shirath al-ladzina an’amta ‘alaihim, ghoir al-maghdhubi ‘alaihim wala al-dhaalliin”
[(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat]
(QS. al-Fatihah: 7)
------

Jika pada tafsir sebelumnya kita sedikit membahas soal "as-shirath al-mustaqim" (jalan lurus), maka ayat ini, yaitu ayat ke-7 dari Surat al-Fatihah, adalah kelanjutan dari maksud yang terkandung dalam ayat ke-6. Dalam ayat itu disebutkan bahwa kita meminta petunjuk atau hidayah dari Allah agar dapat menuju jalan lurus, yaitu jalan menuju keselamatan, Ihdina as-shirath al-mustaqim (tunjukanlah kami jalan yang lurus). Maka, di ayat terakhir al-Fatihah ini akan dipaparkan apa yang dimaksud dengan jalan keselamatan itu?

Jalan keselamatan adalah jalan orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Kenikmatan adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri manusia. Dalam beberapa kamus dijelaskan bahwa secara umum kenikmatan dapat diartikan sebagai pikiran yang puas; sensasi atau emosi yang serasi; perasaan yang dihasilkan oleh suka cita atau pengharapan akan kebaikan. Jadi, kenikmatan adalah kondisi ideal yang diharapkan manusia. Kondisi di mana manusia berbahagia dan bisa menikmati hidupnya.

Namun, kenikmatan yang dimaksud dalam ayat ini jauh lebih luas dari makna umum yang terkandung dalam banyak kamus. Sebab, makna kenikmatan di sini lebih identik dengan rahmat Allah swt. Rahmat adalah kasih sayang Allah yang dilimpahkan kepada hambanya yang dikasihi sehingga ia merasa tenteram dekat dengan-Nya. Kenikmatan itu nilainya tak terhingga. Sampai kapan pun manusia tidak akan bisa menghitung jumlah kenikmatan yang diberikan Allah (lihat QS. Ibrahim: 34).

Kenikmatan hidup itu bermacam-macam, bahkan memiliki tingkatan sendiri-sendiri. Kenikmatan yang terkandung dalam ayat ini, kata Quraisy Shihab, adalah kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada umat manusia berupa hidayah. Hidayah dapat membedakan antara yang benar dan salah. Itulah sebabnya hidayah sebagai kenikmatan Allah yang tak terhingga. Kenapa? Karena hidayah dapat memberikan keselamatan kepada manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Jika kita diberi kenikmatan berupa kesehatan, maka suatu saat kesehatan bisa saja hilang. Kita bisa saja sakit. Bila kita diberi kenikmatan berupa rumah megah, mobil mewah, dan perhiasan berlimpah, maka itu semua bisa saja hilang seketika. Dan apabila kita dikaruniai anak yang lucu, cantik, dan menggemaskan, maka itu pun bisa hilang di hadapan mata kita. Maka, kenikmatan seperti ini tak bersifat permanen.

Dalam al-Quran, kata ni’mat mengandung banyak arti dan makna. Adakalanya, kata ni’mat dikonotasikan dengan kesenangan inderawi. Ada kalanya dikonotasikan dengan kesenangan hawa nafsu. Namun, ada juga kenikmatan itu berarti tuntunan agama Islam. Seorang mukmin yang memiliki ketaatan tinggi berarti telah memperoleh kenikmatan tinggi. Kenikmatan itu berupa implimentasi iman dan ketakwaan (lihat QS. Ali Imran: 103 dan QS. ad-Dhuha: 11). Maka, balasannya tak lain adalah surga yang abadi.

Tiga Golongan Kaum Saleh
Menurut Ibnu Katsir, kenikmatan yang terkandung dalam ayat ini berhubungan dengan QS. an-Nisa: 69, “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” Ayat ini secara jelas mengungkapkan bahwa ada empat golongan orang yang diberi kenikmatan, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin.

Jadi, “shirath al-ladzina an’amta ‘alaihim” adalah ungkapan yang sengaja ditujukan kepada kita bahwa jalan keselamatan itu adalah jalan hidup yang ditempuh oleh para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah kelompok orang-orang saleh yang senantiasa diberi kenikmatan berupa hidayah dari Allah. Karenanya, cara hidup yang ditempuh oleh empat kelompok ini dijadikan contoh sebagai gaya hidup yang bisa mengantarkan kepada keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Kelompok para nabi, yang pertama misalnya, adalah kelompok pilihan Allah. Mereka secara langsung dibimbing oleh Allah. Mereka memiliki sifat jujur, amanah, sabar, istiqamah, dan suka menyampaikan kebenaran. Mereka tidak mudah menyerah menghadapi cobaan apapun untuk menuntun umat manusia agar berada di jalan yang benar. Jalan hidup seperti inilah yang Allah maksud sebagai jalan hidup menuju keselamatan.

Umumnya para nabi itu hidup dalam tekanan. Mereka ditekan dan diintimidasi di tengah masyarakat. Nabi Musa, misalnya, mengalami intimidasi dari Raja Fir’aun. Nabi Ibrahim dimusuhi oleh Raja Namrud. Bahkan, Nabi Muhammad pun, mendapatkan rongrongan dari Kaum Quraisy di Kota Makkah, hingga akhirnya hijrah ke Kota Madinah. Namun begitu, mereka tidak gentar menghadapi berbagai tekanan kejiwaan dan sosial itu. Sebab, mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebenaran dari Allah swt.

Yang kedua adalah kelompok shiddiqin, yaitu orang yang selalu memegang teguh kebenaran dan kejujuran. Kelompok ini memang tidak secara langsung dibimbing oleh Allah. Namun, mereka memiliki keteguhan iman sehingga mampu menjaga komitmen mereka dalam memerangi kebatilan di sekitar mereka tanpa terpengaruh oleh kondisi dan situasi apapun. Orang seperti ini adalah orang yang memiliki gaya hidup mulia. Mereka pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan.

Kelompok yang ketiga adalah syuhada, yaitu orang-orang yang meninggal dalam keadaan syahid. Mereka mengorbankan jiwa dan raga untuk keagungan agama Islam. Quraisy Shihab mendefiniskan arti syuhada sebagai orang-orang yang bersaksi atas kebenaran dan kebijakan melalui ucapan dan tindakan, meski harus mengorbankan nyawa. Mereka dengan gigih mempertahankan idealisme mereka untuk dapat mengibarkan bendera kebenaran dan runtuhnya bendera kebatilan. Kelompok ini senantiasa istiqamah (konsisten) dalam mempertahankan iman dan taqwa di hadapan Allah swt.

Yang keempat adalah golongan sholihin, yaitu orang-orang yang saleh. Orang saleh adalah orang yang selalu berbuat kebaikan di jalan Allah. Mereka berusaha menjalankan kebaikan dan kebenaran demi mencapai ridha Allah swt. Kalaupun sesekali mereka berbuat salah dan pelanggaran, tapi itu semua tak berarti bila dibandingkan dengan kebaikan yang mereka jalankan. Itulah sebabnya, Allah menjadikan gaya hidup mereka sebagai tamsil (contoh) bagi umat Islam untuk dapat menempuh jalan keselamatan.

Keempat kelompok inilah yang Allah gambarkan sebagai golongan yang diberi kenikmatan. Kenikmatan itu berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Di dunia mereka hidup dengan tenang, dan di akhirat mereka dijanjikan surga yang nikmat. Nah, dalam ayat ini Allah menyuruh kita supaya mengambil contoh dan meneladani gaya hidup mereka. Jika pada ayat ke-6 kita memohon untuk diberi jalan menuju keselamatan, maka pada ayat ke-7 ini kita disuruh untuk meneladani empat golongan itu sebagai acuan untuk menuju keselamatan itu sendiri.

Yang Dimurka dan Sesat
Penggalan ayat berikutnya yaitu “ghoir al-maghdhubi ‘alaihim wala al-dhaalliin”. Artinya, “bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” Penggalan ayat ini merupakan sambungan dari penggalan ayat sebelumnya. Jika pada penggalan pertama kita disuruh untuk meneladani empat kelompok orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah, maka pada penggalan ayat ini justru kebalikannya, yaitu agar kita jangan sampai meniru dua golongan orang ini, yaitu orang yang Allah benci (al-maghdhub) dan orang yang sesat (al-dhaalliin). Siapakah mereka itu?

Kata “maghdhub” diambil dari kata “ghadhab”, yang memiliki keragaman makna dan arti. Namun, dari semua arti itu menunjukan pada sesuatu yang keras, kokoh, dan tegas. Karena itu, kata tersebut bisa diartikan sebagai sikap keras, tegas, kokoh dan sukar digoyahkan. Kata “maghdhub” adalah orang yang ditimpakan perbuatan “ghadhab”, yaitu orang yang ditimpakan emosi atau kemurkaan. Dalam konteks ayat ini, “al-maghdhub” adalah orang yang dimurkai Allah swt.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya secara jelas menafsirkan bahwa orang yang dibenci Allah adalah golongan Yahudi. Penafisran ini ia korelasikan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salamah dari Adi bin Hatim, bahwa suatu hari Nabi menerima sebuah pertanyaan, “Siapakah orang yang dimurkai itu?”. Nabi menjawab, “ Yaitu Kaum Yahudi.” Hadits yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah juga menyebutkan hal yang sama, namun dengan redaksi kalimat yang berbeda.

Sementara itu, Quraisy Shihab berpendapat bahwa kata “al-maghdhub” tidak selalu dikaitkan kepada kaum Yahudi saja. Sebab, kemurkaan Allah tidak selalu tertuju kepada sebuah kebangsaan tertentu. Kalau pun dikaitkan dengan Kaum Yahudi, itu tidak serta merta ditujukan pada kebangsaannya, melainkan kepada perbuatan yang pernah mereka lakukan. Semisal, mereka selalu ingkar kepada kebesaran Allah, membunuh para nabi dan orang mukmin, menyekutukan Allah, dan suka bermaksiat.

Dalam sejarah juga banyak dijumpai orang-orang yang dibenci Allah. Di dunia mereka diberi azab dan di akhirat mereka menerima balasan azab atas apa yang mereka kerjakan. Sebut saja, misalnya, kaum ‘Ad dan Tsamud yang telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka. Begitu juga dengan Fir’aun dan kaumnya yang telah dibinasakan Allah di Laut Merah. Mayat Fir’aun hingga kini masih utuh tersimpan rapih dalam museum di Mesir karena diawetkan dengan balsem.

Kelompok kedua, yaitu al-dhaalliin, adalah orang yang sesat di jalan Allah. Kata “al-dhaalliin” diambil dari kata dhalla, yang berarti “gelap”, atau “meletakkan sesuatu tidak pada tempat yang telah ditentukan”. Kata dhalla, yang merupakan antonim dari kata ‘adil’, berarti mengacu pada pekerjaan penganiayaan kepada orang lain dengan mengambil haknya atau tidak menepati janjinya.

Kata ini bisa pula digunakan sebagai perlakuan dosa, baik dosa besar maupun kecil. Dalam al-Quran tidak kurang ada 190 kali kata “dhalla” dalam berbagai bentuknya. Sementara itu, kata “ad-dhaalliin” disebut sebanyak delapan kali dan “ad-dhaalluun” sebanyak lima kali dalam al-Quran.

Para ahli hikmah membagi istilah tersebut pada tiga golongan, yaitu orang yang sesat terhadap Tuhannya, terhadap sesama manusia, dan terhadap dirinya sendiri. Pembagian ini ditujukan pada objek kesesatan itu sendiri. Sementara itu, ada juga ulama yang membagi istilah sesat pada dua kelompok, yaitu orang yang sesat karena kekufuran dan orang yang sesat karena mengambil hak orang lain.

Orang yang kufur kepada Allah juga digolongkan sebagai orang yang sesat. Di antara bentuk kesesatan itu adalah tidak mengakui keberadaan Allah dan Rasul-Nya. Termasuk, di dalamnya, adalah mengakui adanya seorang nabi setelah Muhammad saw. Maka, tak heran jika sejumlah ulama di Indonesia yang terkumpul dalam MUI memvonis sebuah ajaran yang dibawa oleh seseorang yang mengakui bahwa dirinya adalah seorang nabi.

Sedangkan orang yang suka merampas hak orang lain, juga disebut sesat, karena mereka mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Kata Nabi, “Sesungguhnya saya mengharamkan kesesatan dan saya jadikan ia sesuatu yang terlarang kamu lakukan di antara sesama kamu.” (HR. Muslim)

Muhammad Husain Tabataba’i, ahli tafsir asal Iran, berpendapat bahwa perbuatan sesat tidak saja ditujukan pada bentuk kesesatan kepada Allah. Sikap atau tingkah laku yang bisa mengancam ketentraman dan keselamatan masyarakat, baik yang tertuju pada harta kekayaan maupun diri seseorang, juga dikategorikan sebagai kesesatan. Secara lebih rinci, Imam al-Gazali membagi golongan orang yang sesat pada dua kelompok, yaitu kelompok yang mengakibatkan kemudaratan (keburukan) bagi masyarakat secara umum, dan orang yang dapat mengakibatkan keburukan bagi orang secara khusus.

Umum dan khususnya keburukan yang ditimbulkan dari perbuatan sesat ditentukan sesuai dengan perbuatan itu sendiri. Jika perbuatan itu hingga dapat mengakibatkan kerusakan pada masyarakat secara luas, maka itu dikategorikan sebagai kelompok sesat yang pertama. Tapi, jika perbuatan itu hanya menimpa orang per-orangan saja, maka itu termasuk kelompok yang kedua.

Kata “al-dhaalliin” yang termaktub dalam penggalan ayat ke-7 Surat al-Fatihah ini, masih menurut Ibnu Katsir, adalah kalangan umat Nasrani. Umat Nasrani adalah orang yang sesat di muka bumi ini. Sebab, mereka menyimpangkan ajaran Nabi Isa sesuai dengan kemauan mereka. Allah berfirman, “Orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad saw) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan lurus.” (QS. al-Maidah: 77)

Orang sesat juga bisa diartikan sebagai orang kafir yang ingkar kepada kebesaran Allah (lihat QS. Ali-Imran: 90), orang yang tidak mengenal petunjuk Allah (lihat QS. al-An’am: 77), dan orang yang putus asa dari rahmat Allah (lihat QS. al-Hijr: 56). Pendek kata, orang sesat adalah orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka kian jauh dari jalan keselamatan. Karena itu, kita memohon agar kita dijauhkan dari sikap dan perilaku yang mengarah pada kesesatan.

Surat al-Fatihah, sebagai Induk al-Quran, mengajarkan kita banyak hal. Melalui ayat ini, kita diajarkan untuk memohon kepada Allah agar terhindar dari kemurkaan dan kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul perintah Allah agar kita mengambil pelajaran dari sejarah kaum terdahulu.

Orang yang dimurka (al-maghdhub) dan yang sesat (ad-dhaalliin) adalah orang yang tidak selamat dalam hidupnya. Padahal, kita selalu berharap agar bisa selamat dalam menjalani hidup ini. Tidak saja di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Karenanya, kita selalu berdoa, semoga saja kita bukan termasuk dari dua kelompok itu! Na’udzu billah tsumma na’udzu billah. Amin !

Mei 22, 2008

Tafsir QS. al-Fatihah: 5

Jalan Lurus, Jalan Menuju Tuhan
Oleh: Uup Gufron
----
Kita sering mengeluh, apakah jalan hidup kita sudah lurus atau justru berkelok-kelok. Kalau berkelok, terus lurus, mungkin tak mengapa. Tapi, jika jalannya justru berkelok-kelok terus, mana bisa kita sampai pada tujuan. Nah, mungkin kita perlu membaca doa ini. “Ihdina as-Shirath al-mustaqim” [Tunjukanlah kami jalan yang lurus] (QS. al-Fatihah: 5)
----
Pepatah populer ini mungkin sering kita dengar, “Malu bertanya, sesat di jalan.” Artinya, jika kita malu bertanya kepada orang tentang ketidaktahuan kita, maka itu indikasi yang bisa mengarah pada kesesatan. Ujung-ujungnya, kita bisa tersesat di jalan. Karena itu, pepatah ini kemudian dikenal sebagai nasihat kepada orang yang sedang bepergian agar tidak malu bertanya jika ia lupa atau tidak tahu arah menuju tempat yang dituju.

Memang, tak semua orang bisa sampai pada tujuan dengan cepat dan tepat dalam sebuah perjalanan, apalagi bagi orang yang jarang bepergian. Semua perlu adanya bimbingan dan arahan. Tidak saja dalam soal aktivitas pekerjaan, tapi juga pada segala hal dalam hidup ini. Karena itu, semuanya harus dipasrahkan pada segenap pemilik aktivitas. Ia tak lain adalah Allah, yaitu dzat penggerak ruang, waktu, dan seluruh isi di dunia ini.

Begitu juga dalam hidup ini. Manusia, sebagai makhluk yang dianugerahi nafsu oleh Allah, tentunya tak akan luput dari kesalahan. Setiap saat manusia bisa tergelincir ke jurang nista dan dosa. Namun begitu, manusia juga deberi hati dan pikiran, sebagai filter untuk memilih mana yang baik dan yang buruk untuk dikerjakan. Karena itu, manusia butuh petunjuk ilahiyah. Petunjuk itu yang akan membawa manusia pada kebahagiaan hidup yang hakiki.

Dalam Islam, petunjuk atau bimbingan dikenal dengan istilah hidayah. Hidayah adalah petunjuk Allah terhadap makhluknya tentang sesuatu yang mengandung kebenaran atau sesuatu yang berharga dan membawa keselamatan di dunia maupun di akhirat. Hidayah bersinonim dengan kata dalalah dan irsyad, yang berarti petunjuk dan bimbingan.

Menurut Ragib al-Isfahani, istilah hidayah biasa dipakai dalam pengertian petunjuk yang diberikan secara lunak dan lembut. Itu sebabnya ketika seseorang memperoleh hidayah, ia seakan tidak merasa, karena ia datang begitu lembut dan seketika. Hidayah pun memiliki tingkatan masing-masing, sesuai dengan tingkat keimanannya. Sehingga, hidayah yang diberikan pun memiliki kwalitas yang berbeda.

Ini tentu berbeda dengan makna petunjuk yang ada dalam pepatah di atas. Dalam pepatah itu kita dianjurkan untuk bertanya agar memperoleh petunjuk jalan. Petunjuk jalan yang diperoleh, tentu bisa salah dan bisa pula benar. Sementara hidayah dalam konteks ini sudah tentu selalu benar, karena ia datang dari Allah.

Ibnu Kasir dalam kitab tasfsirnya berpendapat bahwa hidayah yang tercantum dalam al-Quran memiliki arti penjelasan, petunjuk, dan taufiq. Hidayah dengan makna penjelasan mengacu kepada dua hal, yaitu menjelaskan sesuatu yang membawa kepada kebenaran dan menjelaskan sesuatu yang membawa kepada kesesatan. Mungkin, penjelasan Ibnu Kasir ini lebih diarahkan pada makna hidayah dari segi bahasa yang bersifat umum.

Pasalnya, kata ‘hidayah’ berasal dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, yaitu 'Ha, Dal, dan Ya'. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu ‘tampil di depan memberi petunjuk’ dan ‘menyampaikan dengan lemah lembut’. Namun begitu, secara khusus, makna ‘hidayah’ diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada kebaikan. Karena itu, seorang muslim haruslah memohon agar diberi petunjuk menuju kebaikan.

Hidayah Sebagai Kebutuhan Hidup
Mustafa al-Maragi
, seorang mufasir kontemporer asal Mesir juga berpendapat sama bahwa hidayah yang ditujukan kepada manusia dibagi pada dua bentuk, yaitu al-hidayah al-ammah (hidayah yang umum) dan al-hidayah al-khashah (hidayah yang khusus). Bedanya, umum dan khususnya hidayah versi al-Maragi lebih diarahkan pada orang atau objek yang diberi hidayah itu sendiri.

Hidayah umum adalah hidayah yang diberikan Allah kepada segenap manusia untuk dijadikan sebagai petunjuk dalam hidupnya. Hidayah berfungsi sebagai filter dalam menjalani hidup di muka bumi. Setidaknya ada empat jenis hidayah bila dikaji secara umum.

Pertama, yaitu 'hidayah al-ilhamiah' (petunjuk ilham). Hidayah ini berupa insting atau pembawaan asli sejak manusia dilahirkan. Manusia sudah diberi hidayah untuk melakukan apa saja sesuai dengan naluri dan instingnya. Jika ia lapar, maka ia akan makan. Jika ia lelah, maka ia akan istirahat. Jika ia terluka, maka ia akan menangis. Begitulah seterusnya. Hidayah dalam bentuk ini tidak saja diberikan kepada manusia, karena Allah juga melimpahkan hidayah seperti ini kepada semua jenis binatang.

Kedua, yaitu 'hidayah al-hawasiah' (petunjuk panca indra). Hidayah ini berupa lima indra yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Lima indra itu adalah pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan indrawi, dan perabaan.
Semuanya diberikan oleh Allah untuk kebutuhan hidup manusia agar bisa hidup dengan tentram dan tenang. Itulah sebabnya, manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna (lihat QS. at-Tin: 4). Bila dibandingkan dengan makhluk yang lain, manusia tentu lebih unggul. Ia memiliki penampakan fisik yang sangat sempurna.

Ketiga, yaitu 'hidayah al-‘aqliah' (petunjuk akal). Hidayah ini digunakan sebagai petunjuk umat manusia agar dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Sebab, akal adalah bagian penting dalam diri manusia, yang bisa membedakan antara dia dengan makhluk Allah lainnya. Kemampuan akal bisa menghantarkan manusia kepada Allah. Begitu juga sebaliknya, yaitu akal dapat menjatuhkan kwalitas iman seseorang kepada Allah swt.

Keempat, yaitu 'hidayah ad-diniyah' (petunjuk agama). Hidayah ini berupa wahyu yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pedoman hidup guna mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Wahyu itu kemudian berbentuk kitab suci yang wajib diyakini. Nah, jenis hidayah ini merupakan hidayah yang tertinggi di mata Allah swt.

Sementara itu, hidayah khusus adalah hidayah yang diberikan kepada orang tertentu saja, yang mengantarkannya kepada kebenaran sejati dan keselamatan dalam hidup. Hidayah yang seperti ini hanya akan diberikan kepada orang spesial saja, yaitu orang yang benar-benar layak diberi hidayah oleh Allah swt, dan hanya Dia yang lebih tahu. Dalam hal ini, al-Maragi sepertinya mengklasifikasikan hidayah dalam konteks tingkat drajat ketakwaan.

Karena itu, dalam setiap shalat kita selalu memohon petunjuk kepada Allah swt. Kita memohon agar kita diberi petunjuk atau hidayah dalam hidup ini. Soalnya, setiap saat kita bisa saja tersesat dalam memfungsikan setiap hidayah yang diberikan oleh Allah.

Maka, doa yang kita panjatkan adalah “tunjukanlah kami jalan yang lurus” (Ihdina as-Shirat al-Mustaqim). Sebab, hidayah begitu penting dalam hidup ini. Tanpa hidayah, manusia seperti makhluk yang tak memiliki arah tujuan dalam hidup.

Meniti Jalan Kebaikan
Dalam setiap hari setidaknya kita diwajibkan membaca Surat al-Fatihah 17 kali, karena ada 17 rakaat dalam shalat lima waktu. Itu artinya bahwa meminta petunjuk kepada Allah hukumnya bersifat wajib. Kita wajib meminta hidayah-Nya agar diarahkan menuju jalan kebenaran. Petunjuk yang kita pinta, tentunya, adalah petunjuk yang lurus, yaitu petunjuk yang mengarah pada kebaikan.

Kalimat 'Ihdina' (berikanlah kami petunjuk) mengandung arti kerendahdirian seorang hamba di hadapan Allah swt, yang memiliki segala kekuatan di muka bumi. Ini pula yang disinyalir Ibnu Kasir bahwa manusia adalah makhluk lemah. Jika pada ayat sebelumnya, yaitu al-Fatihah: 4, kita merendah dengan pengabdian dan permohonan, maka pada ayat ke-5 ini kita pun pasrah dengan penuh kepasrahan.

Kepasrahan pada ayat ke-4, yaitu "iyyaka na’budu waiyyaka nastain", adalah kepasrahan karena kita hendak meminta pertolongan. Logikanya, jika kita meminta sesuatu, maka kita harus mendekat dulu, yaitu dengan cara beribadah kepada-Nya. Tapi, pada ayat ke-5 ini, kita meminta petunjuk untuk masa sekarang dan yang akan datang. Sebab, apa yang kita pinta bersifat kekal dan abadi, yaitu as-Shirat al-Mustaqim.

"As-Shirath al-Mustaqim", menurut Ibnu Kasir, adalah agama Islam. Artinya, setiap manusia harus kembali pada Islam. Sebab, manusia butuh kembali ke jalan Allah, manakala ia sudah jauh dari aturan Allah. Tak heran, jika kemudian kita sering menjumpai kata ‘hidayah’ ditujukan bagi orang yang sudah terjerumus ke lembah dosa dan maksiat. “Semoga Allah membukakan pintu hidayah kepadamu,” begitu biasanya kalimat sering diucapkan.

Kata ‘hidayah’ juga sering dikonotasi kepada orang yang tidak atau belum memeluk agama Islam. Sehingga, mereka bisa dibilang belum memperoleh hidayah dari Allah swt. Ketika mereka kemudian tertarik dan akhirnya memeluk agama Islam, maka mereka telah memperoleh hidayah Allah.

Fungsi hidayah adalah menerangi kegelapan hidup manusia. Manakala ia belum memperoleh hidayah, maka ia masih berada dalam kegelapan hidup. Hidayah memang laksana lampu. Ia bisa menerangi siapa saja yang berada dalam kegelapan hidup. Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa Allah adalah Cahaya. Dan Cahaya Allah tidak akan dilimpahkan (dihidayahkan) kepada orang yang selalu berbuat maksiat. Artinya, jika seseorang sudah terlalu larut dalam kegelapan hidup, maka hidayah akan sulit diterima.

Tapi sebaliknya, jika ia mencoba mendekat kepada Allah, dan ia tahu bahwa Allah itu selalu mengawasinya, maka Allah pun akan mudah melimpahkan hidayah-Nya kepada orang tersebut. Seperti kata Sam Bimbo dalam sebuah lirik lagunya, “Aku jauh, Engkau Jauh. Aku dekat, Engkau dekat. Hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa berpadu.”

Sementara itu, M. Qurais Shihab memaknai as-Shirat al-Mustaqim dalam Surat al-Fatihah sebagai jalan apa saja yang bisa mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia tidak membatasi makna istilah itu pada agama. Sebab, segala sesuatu yang mengarah pada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, adalah jalan yang bisa menghantarkannya kepada Allah.

Itu sebabnya, harta pun bisa dijadikan permohonan dalam doa. Harta juga bisa menjadi petunjuk dalam hidup. Tentunya, harta itu halal dan digunakan untuk kemaslahatan (kebaikan), dan bukan untuk kezaliman (kesesatan). Begitu juga dengan yang lainnya seperti ilmu pengetahuan, kesehatan, maupun kekuasaan.

Ilmu pengetahuan bisa dijadikan sebagai as-Shirat al-Mustaqim jika ilmu yang ia peroleh itu untuk mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Kecanggihan ilmu pengetahuan juga bisa dijadikan modal untuk selalu dekat kepada Allah. Jika demikian, maka ilmu pengetahuan pun bisa berfungsi sebagai petunjuk atau hidayah.

Sama halnya dengan kesehatan dan kekuasaan. Kedua hal ini juga merupakan petunjuk (hidayah) yang bisa diminta kepada Allah. Tanpa sehat, manusia tentu tak mampu beribadah. Sedangkan kekuasan adalah sarana, yaitu alat untuk beribadah kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan Surat Yasin: 61, “Dan beribadahlah kepada-Ku, inilah shirath al-mustaqim.

Ibadah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ibadah apa saja yang bisa mengantarkan manusia pada Allah, sehingga ia semakin dekat kepada-Nya. Dalam al-Quran, istilah as-Shirat al-Mustaqim dijelaskan secara jelas pada tiga ayat, yaitu QS. Maryam: 43, QS. az-Zukhruf: 61, dan QS. al-Fatihah: 7.

Dalam QS. Maryam: 43, misalnya, disebutkan, “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukan kepadamu as-Shirath al-Mustaqim.” Ayat ini menjelaskan saat Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk mengikuti jalannya menuju Allah swt.

Begitu juga pada QS. az-Zukhruf: 61. Dalam ayat itu disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw mengajak kaum Quraisy untuk masuk Islam, karena itu adalah as-Shirath al-Mustaqim. Dan, pada ayat ke-7 QS. al-Fatihah juga dijelaskan secara gamblang bahwa as-Shirath al-Mustaqim adalah jalan orang-orang yang telah diberi kenikmatan.

Nah, orang yang telah menempuh jalan lurus (as-Shirath al-Mustaqim) adalah orang yang menjalankan cara hidup yang digambarkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Cara hidup mereka merupakan gaya hidup yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki di dunia maupun di akhirat.

Persoalannya, perlukah kita selalu memohon untuk selalu diberi hidayah atau petunjuk menuju jalan yang lurus? Jawabnya adalah harus. Kenapa? Karena manusia setiap saat bisa saja tergelincir kembali pada jalan kesesatan, meskipun ia telah diberi hidayah sebelumnya. Karena pada dasarnya, iman bersifat statis. Kadang pasang, kadang pulang surut.

Sebab itu, kita diwajibkan membaca al-Fatihah dalam shalat setiap hari. Membaca Surat al-Fatihah merupakan rukun shalat, yang artinya itu adalah keharusan untuk mencapai nilai sahnya shalat seseorang. Jika kalimat Ihdina as-Shirath al-Mustaqim dipahami secara mendalam dan pernuh penghayatan, maka kita tentu lebih bisa memahami setiap langkah hidup yang kita jalani.

Di tengah keterpurukan hidup bermasyarakat ini, sebuah doa yang kita panjatkan dalam setiap shalat tentu dapat merepresentasikan setiap cita-cita hidup yang kita inginkan. Hidayah merupakan gunung emas sebuah keinginan manusia. Pasalnya, dalam hidayah ada banyak hal yang bisa kita raih. Tanpa itu, kita mustahil bisa meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Karena itu, ketika kita shalat, dan di saat kita membaca Ihdina as-Shirath al-Mustaqim, sebaiknya dilakukan dengan penuh khusu’ dan khidmat. Sebab, di dalam hidayah ada banyak kenikmatan yang Allah janjikan. Dan, kenikmatan itu telah Allah gambarkan pada ayat sesudahnya, yaitu alladzi an’amta ‘alaihim, ghoiril maghdhubi ‘alaihim waladzallin, “yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan kenikmatan kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. Wallahu a’lam, hanya Allah yang lebih tahu!

Mei 10, 2008

Tafsir QS. Al-Baqarah: 1

Alif Laam Miim:
Rahasia Tiga Huruf yang Tak Tersibak

Oleh: Uup Gufron
----
Alif Laam Miim. Begitu ayat pertama Surat al-Baqarah berbunyi. Satu ayat berisi hanya tiga huruf. Tak kurang, dan tak lebih. Tak ada tambahan kata apapun, baik sesudah maupun sebelumnya. Tampaknya, ada rahasia yang Allah sembunyikan di sini. Kenapa Allah menurunkan ayat yang sulit dipahami ini? Kenapa pula Allah menyebutkan tiga alfabet Arab itu di awal surat yang diberi nama ‘Sapi Betina’ ini?
----
Satu sore dalam sebuah pengajian anak-anak di surau, seorang bocah mengajukan pertanyaan kritis kepada ustadznya soal alif laam miim yang tak bisa ia pahami dalam bahasa Indonesia. “Ustadz, kenapa ada ayat yang tidak ada artinya?” tanya si bocah penuh penasaran.
Sang ustadz terdiam sejenak. Ia harus berpikir sebentar untuk merangkai jawaban yang pas dan tepat untuk ukuran bocah usia 9 tahun. Ia tak mungkin menjabarkan sesuatu yang sulit dijangkau akal bocah seusia itu.
“Allah menurunkan ayat ini agar kita bisa membaca dan mempelajari al-Quran. Kalau adik-adik tidak bisa mengerti dan memahami ayat ini, berarti adik-adik harus belajar giat lagi untuk bisa memahami semua ayat al-Quran sampai selesai. Kalau adik-adik sudah khatam al-Quran, insya Allah nanti adik-adik akan tahu kok,” jawab sang ustadz penuh hati-hati.
“Tapi, kita kan sudah selesai pelajari surat al-Fatihah?” tanya balik si bocah itu.
“Al-Fatihah itu surat permulaan. Namanya juga al-Fatihah, yang berarti pembukaan. Artinya, adik-adik baru mempelajari awalnya saja. Belum sampai intinya. Makanya, adik-adik harus giat belajar al-Quran, biar nanti adik-adik tahu apa itu alif laam miim,” jawab si ustadz.
Pengajian pun selesai. Semua santri pulang ke rumah masing-masing. Namun, hanya ada seorang santri yang masih tetap duduk di bagian serambi surai. Ia masih terngiang jawaban ustadznya, bahwa ia akan tahu alif laam miim kalau sudah selesai mempelajari semua kandungan al-Quran. “Sebegitu sulitkah?,” pikirnya dalam hati.
Si bocah itu kemudian beranjak pulang. Sesampai di rumah ia bertemu dengan ayahnya yang sedang membaca koran di serambi depan rumah. Si anak mendekati ayahnya. Ia kemudian bertanya, “Ayah, apa arti dan maksud ayat alif laam miim?”
Pertanyaan ini kontan membuyarkan konsentrasinya. Ia menghela napas panjang. Ia lalu melepaskan kaca matanya dan meletakkan kertas koran di pinggir meja. Ia tatap anaknya penuh kasih sayang. Ia tahu kalau anaknya memiliki IQ cukup tinggi. Anaknya terbilang cerdas dan kritis. Ia sangat bersyukur karena dikarunia seorang anak yang begitu cerdas dan kritis.
“Anakku, tidak semua apa yang ada di al-Quran Allah perlihatkan kepada kita. Alif laam miim, salah satunya. Hanya Allah yang tahu makna ayat ini,” jawab sang ayah.
“Kata ustadz, kita akan mengerti kalau sudah khatam al-Quran?” bocah itu mengadu soal jawaban dari ustadznya.
“Ya, benar. Kita akan tahu kalau kita sudah khatam dalam memahami al-Quran.”
“Jadi, ayah belum khatam dong?”
“Ya, benar, ayah belum khatam mempelajari al-Quran.”
“Tapi ayah kan sudah pandai, bahkan menjadi imam masjid. Terus sampai kapan ayah akan belajar al-Quran?”
“Sampai al-Quran benar-benar tidak menyisakan satu huruf pun yang tidak kita pahami.”
“Sampai kapankah itu, ayah?”
“Sampai kita tak sanggup lagi mempelajarinya.”
Anak itu kemudian terdiam. Ia mencoba merenungi apa yang dikatakan ayahnya. Ia kini tahu kenapa Allah menurunkan ayat misterius itu. Baginya, ayat itu kini menjadi motivasi agar dirinya terus menggali semua kandungan dan nilai yang ada dalam al-Quran. Ia bertekad akan terus belajar dan belajar. Sampai ia tak diberi kesempatan lagi untuk belajar.

Menjawab Keraguan Kaum Yahudi
Memang, mengkaji al-Quran tak terbatas oleh ruang dan waktu. Banyak hal bisa dikaji dalam Kitab Suci itu. Semuanya tak akan habis ditelan zaman. Sampai kapan pun, al-Quran akan selalu sempurna dan tak tertandingi. Tak ada manusia yang bisa mengungguli atau bahkan meniru mu’jizat terhebat itu, meski hanya satu huruf sekali pun. Sebab, al-Quran akan dijaga langsung oleh Allah, hingga akhir zaman nanti (lihat QS. al-Hajr: 9) Mungkin ini salah satu alasan kenapa al-Quran disebut mu’jizat yang sangat luar biasa. Dikaji dari segi apapun al-Quran akan selalu tampak sempurna.
Begitu banyak orang yang mencoba meniru atau bahkan merusak kandungan al-Quran, namun semuanya sia-sia. Sebut saja Musailimah al-Kadzab. Ia pernah mencoba mengarang al-Quran tandingan sepeninggalnya Rasul. Tapi, apa yang dihasilkan tak lebih dari syair-syair yang tak berbobot. Ia mengira bahwa al-Quran adalah karya Nabi Muhammad. Padahal, al-Quran adalah kalam ilahi yang diturunkan kepada Nabi untuk dijadikan sebagai pedoman hidup bagi umat Islam. Al-Quran sungguh bukanlah karangan Nabi semata.
Tak hanya Musailimah, di zaman ini pun banyak sekali bermunculan orang yang mencoba membuat al-Quran tandingan. Awalnya mereka mengaku sebagai Nabi. Setelah itu mereka mencoba mencari kelemahan al-Quran dari berbagai sudut. Pada akhirnya mereka membuat kitab suci baru yang persis atau bahkan berbeda dengan al-Quran. Namun, usaha mereka itu tidaklah akan menemukan hasil. Sebab, al-Quran adalah kitab suci terakhir bagi umat manusia yang tak mungkin dapat dirusak oleh siapa pun. Di dalamnya mengandung banyak nilai dan ajaran yang bisa menjawab keraguan hati pada ilahi.
Surat al-Baqarah sendiri, salah satunya, diturunkan untuk menjawab keraguan umat pada kebenaran Islam. Surat al-Baqarah diturunkan di Madinah, di saat Nabi membangun masyarakat Islam di kota itu. Nabi hijrah dari Makkah ke Kota Madinah akibat tekanan dari kaum Quraisy yang begitu dahsyat. Mereka tidak senang jika Islam berkembang di sana. Akhirnya, ia bersama para sahabat berangkat ke Madinah dan di sana memperoleh sambutan hangat dari masyarakat Madinah, yang kala itu masih disebut Kota Yatsrib.
Meskipun Nabi memperoleh sambutan yang hangat dari Kaum Anshar di Madinah, tak sedikit kelompok orang yang mencoba memusuhi dan merongrong Nabi dari belakang. Mereka adalah orang Yahudi. Mereka menganggap bahwa kedatangan Nabi di kota itu dapat merusak tatanan sosial dan bisa menghacurkan agama mereka. Padahal, Nabi sendiri telah memberikan jaminan bahwa mereka akan tetap aman di kota itu. Tetapi, mereka tetap saja merasa ragu dengan apa yang Nabi katakan.
Prof Dr Syekh Muhammad al-Gazali, pakar tafsir asal Mesir, mengemukakan bahwa kaum Yahudi yang tinggal di Madinah merupakan kelompok pendatang dari daerah subur di Hijaz yang melarikan diri dari penindasan bangsa Romawi. Mereka kemudian hidup di tengah bangsa Arab dan merasa nyaman tinggal di Madinah. Keberadaan mereka memang terbilang minoritas. Namun, setelah kedatangan Nabi dan para sahabatnya di Madinah, bangsa Yahudi ini merasa terancam. Mereka beranggapan bahwa Muhammad akan bertindak sama seperti bangsa Romawi.
Karenanya secara perlahan mereka menyiapkan perlawanan dan mencoba membangun kekuatan. Konspirasi secara tersembuyi dan terbuka pun dilakukan guna melawan Nabi. Mereka pun melakukan tipu daya kepada Nabi dan umat Islam di Madinah. Nabi mencoba mengambil rasa simpatik mereka, tapi mereka tetap saja menolak keberadaan umat Islam di sana. Saat keraguan umat Yahudi kepada Islam kian bergejolak, maka Surat al-Baqarah diturunkan oleh Allah. Ayat ini mencoba memberikan jawaban kepada mereka bahwa Islam tak perlu diragukan lagi kebenarannya. Maka, ayat pertama yang diturunkan adalah tiga huruf rahasia, alif laam miim, yaitu ayat yang menyimpan banyak rahasia.

Rahasia di Balik Rahasia
Para mufasir atau pakar tafsir berbeda pandangan dalam menafsirkan ayat alif laam miim. Hingga kini pun belum ada yang bisa membuka secara pasti apa yang ada di balik tiga huruf itu. Bahkan, sejak abd ke-1 hingga ke-3 Hijriyah, tak ada satu mufasir pun yang berani menafsirkannya. Sebut saja misalnya Jalaluddin Muhammad Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain-nya. Mereka berkata soal alif laam miim: “Allahu a’lamu bimuradihi bidzalika” (Allah yang lebih tahu dengan apa yang dimaksud pada ayat itu). Mereka beralasan bahwa ayat itu termasuk ayat mutasyabih, yang hanya Allah sendiri yang tahu maksudnya. Manusia sengaja tidak diberi tahu.
Setelah abad ke-3 baru banyak mufasir yang mencoba menguak dan menyibak rahasia di balik ayat itu. Pada saat itulah, banyak pandangan bermunculan soal ayat tersebut. Ada yang berpendapat bahwa alif laam miim termasuk dari sifat-sifat Allah. Ada pendapat ulama yang menyebutkan bahwa alif itu berarti Allah, laam itu berarti Jibril, dan miim itu adalah Muhammad. Tiga huruf ini dimaksudkan soal proses turunnya al-Quran, yaitu dari Allah kemudian dibawa Jibril dan disampaikan kepada Muhammad. Namun, pendapat ini dinilai lemah oleh sebagian ulama yang lain. Ada juga ulama tasfsir yang berpendapat bahwa alif laam miim itu merupakan nama lain dari surat al-Baqarah.
Nama lain dari surat ini adalah as-Sinam, yang berarti ‘puncak’. Nama ini untuk menunjukan bahwa tidak ada lagi puncak petunjuk yang lebih tinggi setelah al-Quran. Al-Quran adalah pedoman hidup bagi umat manusia yang bisa mengantarkannya ke dalam kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa surat ini juga diberi nama az-Zahra, yang berarti ‘terang benderang’. Surat ini diberi nama az-Zahra karena kandungan surat ini dapat menerangi jalan dengan terang-benderang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, serta menjadi penyebab bersinar terangnya wajah siapa saja yang mengikuti petujuk-petunjuk surat ini kelak di kemudian hari. Sebab, dalam surat ini mengandung nilai-nilai dan anjuran menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Nama al-Baqarah sendiri tak terlepas dari apa yang digambarkan dalam ayat tersebut. Al-Baqarah, yang berarti ‘sapi betina’, adalah sebuah kisah dalam surat ini yang menceritakan tentang seekor sapi betina dan masyarakat Bani Israel. Dikisahkan bahwa ada seseorang mati akibat dibunuh, namun semua orang tidak tahu siapa yang membunuhnya. Masyakat Bani Israel kemudian saling tuduh satu sama lain. Mereka menaruh curiga kepada siapa pun.
Menghadapi hal ini, mereka kemudian menemui Nabi Musa dan meminta petunjuk agar diberi tahu siapa yang membunuh salah satu kaum mereka itu. Allah kemudian memberi petunjuk kepada Musa agar menyuruh umat Bani Israel menyembelih seekor sapi betina. Kemudian mereka langsung menyembelihnya. Setelah Nabi Musa berdialog cukup lama dengan Bani Israel, maka ia langsung saja memukulkan bagian sapi itu ke bagian tubuh mayat. Maka, atas izin Allah orang itu kemudian hidup kembali dan memberi tahukan siapa yang telah membunuhnya.
Kembali ke soal tiga huruf tadi. Dalam soal alif laam miim, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa tiga huruf itu dimaksudkan untuk memperingatkan kaum musyrik sehingga mereka mau mendengarkan firman Allah. Sehingga, ayat yang sulit dipahami ini diturunkan. Namun, bagi Ibnu Katsir, pendapat ini dianggap cukup lemah. Ibnu Katsir lebih condong mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah yang berpandangan bahwa dengan adanya tiga huruf itu, maka itu akan tetap menjadi misteri. Karena ia menjadi misteri, maka di situlah letak kemukjizatan al-Quran. Artinya, tiga huruf itu akan selalu menjadi rahasia abadi di muka bumi.
Alasannya, dalam menyajikan seluruh huruf yang terpotong-potong dalam setiap awal surat pasti selalu diikuti dengan menyebutkan bagaimana turunnya al-Quran dari Allah kepada umat manusia. Ini menunjukan bahwa Allah ingin meletakkan al-Quran sebagai hal yang luar biasa. Contohnya, alif laam miim: inilah Kitab; haa miim: inilah Kitab yang terang; alif laam miim: Allah tiada Tuhan melainkan Dia yang hidup dan berdiri sendiri. Dia telah menurunkan al-Kitab kepadamu; dan aliif laam miim: Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu.
Abu Bakar Shidiq juga pernah memberi komentar soal ayat ini. Kata dia, “Demi Allah, dalam setiap al-Quran pasti ada rahasianya, dan rahasia al-Quran ada pada awal-awal surat.” Artinya, rahasia Surat al-Baqarah ada pada tiga huruf pertama ini, yaitu ya, sin, mim. Namun begitu, ia tidak pernah tahu apa yang dimaksud dan yang terkandung dalam ayat tersebut. Soalnya, Nabi sendiri tidak pernah memberi tahu apa makna di balik tiga huruf itu kepada para sahabatnya.
Rasyid Khalifah memberikan pendapat yang cukup berani dalam menafsirkan ayat ini. Tiga huruf ini, yaitu alif laam miim, merupakan huruf yang paling banyak terdapat di Surat al-Baqarah. Demikian juga pada surat-surat lain yang berawalan huruf yang terpisah, seperti haa miim, thaa haa, dan lainnya. Namun begitu, kata Rasid Khalifah, kesimpulan ini tidak berlaku pada ayat yaa siin. Pasalnya, huruf ya dalam susunan alfabet Arab itu berada sesudah huruf sin. Jadi, huruf ya dan sin bukanlah huruf yang paling banyak. Justru kebalikannya, yaitu huruf yang paling sedikit dalam surat itu.
Pendapat ini, menurut Quraisy Shihab, dinilai cukup berani dan bahkan kontroversial. Tokoh yang mengemukakan pendapat ini pun juga dinilai kontroversial. Menurut dia, perlu ada penelitian secara seksama dan mendalam sebelum membenarkan teori ini. Kaitan dengan ayat ini, Quraisy Shihab juga ikut memberikan beberapa catatan penting.
Pertama, huruf-huruf yang terpisah itu, baik alif laam miim, haa miim, yaa siin, dan sebagainya, yang digunakan sebagai pembuka surat dalam al-Quran berjumlah ada 14 huruf yang ditemukan dari jumlah alfabet Bahasa Arab yang kesemuanya ada 29 huruf.
Kedua, huruf-huruf itu mewakili makharij al-huruf (tempat-tempat keluarnya huruf). Misalnya, alif, yaitu berlokasi di kerongkongan sebagai pangkal pengucapan; lam, yaitu lidah dengan meletakkannya di langit-langit mulut sebagai pangkal pengucapan dan pengeluaran; dan mim, yaitu lahir dari pertemuan bibir atas dan bibir bawah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alif laam miim merupakan awal, tengah dan akhir. Artinya, kalau dikaitkan dengan kandungan al-Quran, surat al-Baqarah membicarakan awal penciptaan, kehidupan di dunia, dan akhir penciptaan, yaitu Kiamat.
Ketiga, adanya ayat alif laam miim menunjukan bahwa al-Quran tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengajaran. Memahami al-Quran haruslah dengan ilmu. Ada perangkat ilmu yang harus digunakan untuk bisa memahami isi al-Quran. Tak ada ilmu jika tidak ada guru. Itulah sebabnya kenapa kita butuh seorang guru dalam memahami al-Quran. Seorang guru menempati posisi penting dalam hal ini.
Ayat ini mengandung pesan bahwa untuk bisa membaca al-Quran haruslah belajar terlebih dulu kepada seorang guru. Surat al-Fiil juga dimulai dengan ayat yang ditulis sepenuhnya sama dengan alif laam miim. Tapi, pada Surat al-Fiil dibaca ‘alam’. Tentu saja perbedaan bacaan ini diketahui bukan dari tulisannya, melainkan dari pendengaran atau pengajaran. Pada awalnya, Nabi juga menerima ayat-ayat al-Quran melalui pengajaran dari malaikat Jibril, yang ketika mengajarkannya tidak membawa kertas selembar pun.Apapun yang dikemukakan para ahli tafsir di balik tiga huruf ini sebenarnya sah-sah saja. Kita anggap itu sebagai bagian dari upaya mengkaji dan menggali isi kandungan al-Quran yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan wawasan informasi. Namun begitu, semuanya tentu kembali kepada Allah, karena hakikatnya hanya Allah yang tahu maksud dan arti di balik tiga huruf itu. Pasalnya, Nabi sendiri tidak pernah memberikan keterangan apapun soal tiga huruf itu, termasuk para sahabat. Maka, jawaban yang paling tepat adalah, “Allahu a’lamu bimuradihi bidzalika”.

Tafsir QS. Al-Baqarah: 2

Al-Quran,
Jalan Menuju Derajat Takwa

Oleh: Uup Gufron
-----
Jika ada yang bertanya, kenapa Anda harus percaya pada al-Quran? Maka, jawabnya seperti ini: “Dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin.” Artinya, Al-Kitab itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 2). Logikanya, jika Anda punya petunjuk, Anda tak mungkin tersesat. Iya kan?
-----

Beberapa waktu lalu mungkin kita masih ingat tentang kabar munculnya Nabi baru, yaitu Ahmad Musaddieq. Umat Islam di negeri ini kontan saja tercengang seketika dengan kabar itu. Soalnya, pria itu telah berani mengatakan bahwa risalah Nabi Muhammad itu belum sempurna. Al-Quran yang dibawa Muhammad juga perlu disempurnakan dan masih banyak kekurangan. Maka dari itu, ia kemudian diutus oleh Tuhan sebagai penyempurna al-Quran dan kerasulan Nabi Muhammad.
Belum lama ini kita juga mendengar berita ‘taubat’-nya Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang dilakukan dengan penyampaian butir-butir perjanjian di depan pemerintah. Salah satu butirnya adalah soal kembalinya para pengikut Ahmadiyah pada Kitab al-Quran. Semula, komunitas itu mengakui bahwa Kitab Tadzkirah adalah kitab suci mereka dan Mirza Ghulam Ahmad adalah rasul mereka yang terakhir. Nah, dua hal ini akan menarik jika dikaji lewat kandungan ayat ke-2 Surat al-Baqarah ini. Kayaknya, ayat ini juga diperuntukkan bagi mereka.

Al-Quran Menjawab Keraguan
Ayat ke-2 dari Surat al-Baqarah ini bercerita tentang al-Quran dan fungsinya bagi orang yang bertakwa. Setelah Allah menurunkan ayat berupa tiga huruf hijaiyyah, yaitu alif laam miim, maka kemudian Allah menurunkan kabar yang cukup mengejutkan, yaitu anjuran agar kita jangan ragu pada al-Quran. Di satu sisi, ayat ini juga berupa kecaman kepada orang yang inkar pada kebenaran al-Quran. Maka, Allah berfirman, “Dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin.” Artinya, al-Kitab itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin diwakafkan (berhenti) pada kata raiba, kemudian baru disambung pada kalimat fihi hudan lil-muttaqiin. Tapi, Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan bahwa waqaf yang lebih utama adalah pada laa raiba fiihi, baru kemudian dilanjutkan pada hudan lil-muttaqiin. Dia berargumen bahwa kata hudan merupakan sifat al-kitab yang menyatu dan tak terpisah. Ini lebih baik dari pada menganggap keberadaan al-kitab, yang di dalamnya ada petunjuk (hudan), yang bisa bermakna bahwa dalam al-Quran itu ada petunjuk dan ada juga hal lain.
Kata al-Kitab pada kalimat dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin adalah isim atau kata benda yang berarti sesuatu yang ditulis seperti ukiran dan angka yang menunjukan arti tertentu. Al-Kitab yang dimaksud di sini adalah al-Quran, yaitu sebagai nama lain dari al-Quran itu sendiri. Sedangkan bentuk isyarat yang diikuti kata al-Kitab, yaitu dzalika (itu) adalah bentuk isyarat bahwa menulis al-Quran itu diperbolehkan di kemudian hari. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Mustafa al-Maragi dalam kitab tafsirnya.
Sementara itu, beberapa pakar tafsir lain berpendapat bahwa kata isyarat dzalika (itu), yang berarti menunjuk pada sesuatu yang jauh, bertujuan untuk memberikan kesan bahwa Kitab Suci ini berada dalam kedudukan yang amat tinggi, dan sangat jauh dari jangkauan makhluk. Namun, jika ada kata al-Kitab, atau al-Quran, yang didahului dengan isyarat dekat seperti hadza (ini), maka itu bertujuan untuk menunjukan bahwa al-Quran itu dekat tuntunannya pada fitrah manusia.
Adapun kata al-Kitab yang ditandai dengan definite article atau alif lam- ma’rifat mengandung arti bahwa Kitab itu memiliki kesempurnaan, terlebih bila dibanding dengan Kitab Allah yang diturunkan sebelumnya. Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui pelantaraan Malaikat Jibril, agar dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia. Al-Quran berisi 6.236 ayat, terdiri dari 114 surat, dan diturunkan dalam dua masa, yaitu masa ketika Nabi tinggal di Makkah dan masa setelah hijrah ke Madinah.
Laa raiba fiihi, yang berarti tidak ada keraguan pada al-Quran, merupakan kecaman dan peringatan bagi kaum Yahudi yang masih ragu pada kebenaran al-Quran. Ayat ini turun di tengah memuncaknya keraguan kaum Yahudi pada Islam ketika Nabi membangun masyarakat Islam di Madinah (baca juga rubrik Tafsir di Hidayah edisi 79). Sementara itu, Quraisy Shihab, berpendapat bahwa maksud dari penggalan ayat ini ditujukan pada tiga jenis keraguan, yaitu ragu karena sangka buruk, ragu karena kegelisahan hati, dan ragu karena setengah-setengah.
Keraguan merupakan ekspresi pikiran yang mengandung adanya keseimbangan dua kondisi, yaitu pembenaran dan penolakan. Ketika kondisi pikiran kita memiliki porsi pembenaran 50 persen dan penolakan juga 50 persen, maka itu adalah kondisi ragu. Nah, al-Quran menyindir kepada orang yang memiliki keraguan seperti ini, dengan menyebutkan bahwa “tak ada hal yang perlu diragukan dalam al-Quran”. Sebab, semua yang terkandung dalam al-Quran adalah kabar kebenaran.

Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan
Al-Quran merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang luar biasa. Mukjizat berarti suatu peristiwa yang melampaui batas kebiasaan akal pikir manusia. Sebagai mukjizat, al-Quran tentu saja tak dapat ditiru oleh manusia biasa. Di dalamnya mengupas berbagai sendi kehidupan manusia. Dari segi bahasa, al-Quran disampaikan dengan tutur sastra yang begitu indah. Dari segi aspek ilmu pengetahuan, al-Quran mengakomodir semua bidang keilmuan. Kata Prof Dr M Dawam Rahardjo, al-Quran itu semacam ensiklopedia, yang memuat berbagai sumber kata dalam ilmu pengetahuan.
Bahkan, apa yang pernah ditemukan oleh sejumlah ilmuan di belahan dunia, ternyata sudah termuat dalam al-Quran. Seorang pakar ilmu Kelautan dari Jerman, Prof. Shroeder, juga mengakui hal ini. Kata dia, “Ilmuwan itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang tertulis dalam Al-Quran beberapa tahun yang lalu. Para Ilmuwan sekarang hanya menemukan apa yang telah tersebut dalam Al-Quran sejak 1400 tahun yang lalu.” Pendapat ini juga diiyakan oleh Prof. Alfred Kroner, Ketua Jurusan Geologi Institute Geosciences, Universitas Johannes Guttenburg, Maintz, Jerman.
Dalam hal ini, Muhammad Kamil Abdushshamad, dalam al-I’jaz al-Ilmi fil Islami al-Quran al-Karim, mencoba membeberkan satu ayat al-Quran yang di dalamnya memuat lima bidang ilmu pengetahuan. Misalnya, QS. al-Baqarah: 167. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
Pertama, yaitu menerangkan soal ilmu Falak (Astronomi), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang…” Penggalan ayat ini menjelaskan bahwa malam dan siang itu beredar dan bergantian. Satu sama lain tidak akan saling mendahului. Ini membuktikan bahwa bumi itu bulat. Jika bumi datar, maka hanya ada satu waktu saja yang terjadi. Ilmuan modern menguatkan hal ini, bahwa matahari tidak akan berbenturan dengan bulan, karena keduanya beredar di garis edar (orbit) sendiri-sendiri (lihat juga QS. Yasin: 40).
Kedua, yaitu menjelaskan tentang ilmu Kelautan. “bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia …” Penggalan ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengatur air laut sehingga mengalir sesuai dengan ketentuan-Nya. Di samping itu, penggalan ayat ini juga menjelaskan tentang adanya gelombang laut. Setidaknya, ada tiga jenis gelombang air laut (lihat pula QS. an-Nur: 40), yaitu gelombang permukaan yang terjadi karena hembusan angin dan ombak; gelombang pasang surut karena gravitasi bulan, dan gelombang dasar laut atau gelombang kompensasi (tsunami).
Jenis gelombang terakhir ini, yaitu tsunami, ternyata ada dalam al-Quran jauh sebelum ilmuan dunia menemukannya di Jepang. Jenis gelombang ini memiliki kecepatan yang sangat luar biasa, bahkan kecepatannya seperti pesawat terbang. Gelombang ini dihasilkan dari goncangan di dasar laut. Gelombang yang sangat menakutkan ini pernah menerjang negeri ini tiga tahun silam di Aceh. Korbannya mencapai ratusan ribu orang.
Ketiga, yaitu mengungkap fenomena alam dalam ilmu Pertanian (Agronomi), “apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya…” Penggalan ayat ini secara implisit menjelaskan bahwa dalam tanah terdapat bakteri nitrogen. Bakteri dalam pemahaman kimia adalah pengolah sintesis yang berarti bahwa ia menyerap nitrogen dari udara dan unsur-unsur negatif untuk diubah, sehingga menjadi zat yang siap bereaksi dan bersatu dengan hidrogen (lihat pula QS. Yasin: 33). Sebab itu, jenis bakteri ini sangat membutuhkan air hujan. Itulah sebabnya pengolahan tanah yang mati dilakukan dengan air hujan.
Keempat, yaitu menyibak perkara dalam ilmu Hewan (Zoologi), “dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan…” Penggalan ayat ini mengungkapkan bahwa Allah menciptakan hewan dengan berbagai jenis dan species yang beragam. Itulah sebabnya para ilmuan Zoologi kemudian melakukan berbagai penelitian, observasi, dan pembedahan terhadap hewan-hewan yang akhirnya membuat mereka kagum. Hewan-hewan itu ternyata mampu beradaptasi dengan lingkungannya (lihat pula QS. al-Jaatsiyah).
Para ilmuan Zoologi juga menyadari bahwa ternyata hewan-hewan itu, baik yang hidup di darat, laut maupun udara, membentuk kelompok-kelompok sosial. Di samping itu, mereka juga memiliki sistem sosial sendiri yang mengikat dan mengatur pola interaksi anggota-anggota kelompoknya. Sehingga, cara hidup dan berbagai aktivitasnya tak jauh berbeda dengan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Kelima, yaitu memaparkan rahasia dalam ilmu tinjauan cuaca (Meteorologi), “dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi…” Angin dan awan adalah unsur penting dalam memahami faktor cuaca. Allah yang mengendalikan angin dan awan, sehingga Dia pula yang menurunkan hujan, salju, maupun panas. Misalnya, ketika awan memiliki kelebihan elektron, maka muatan tersebut akan meloncat ke awan yang bermuatan positif atau kekurangan elektron. Lalu, timbullah aliran listrik yang disebut kilat (lihat pula QS. al-Baqarah: 43). Kilat terjadi karena adanya perubahan suhu yang sangat tinggi dalam waktu singkat.
Nah, dalam satu ayat saja, yaitu QS. al-Baqarah: 167, kita bisa menemukan banyak hal dalam perspektif ilmu pengetahuan. Itu baru satu ayat. Bagaimana jika semua ayat al-Quran dikaji? Tentu akan banyak penemuan ilmiah yang bisa terungkap. Jadi, jelaslah bahwa Al-Quran memang bisa mengungkap kebenaran sesuai dengan apa yang ditemukan para ilmuan saat ini. Para ilmuan dunia pun, termasuk Barat, juga mengakui bahwa al-Quran juga membeberkan sesuatu yang tak tersibak oleh ilmu pengetahuan.

Petunjuk Kaum Bertakwa
Al-Quran adalah kalam Ilahi yang tak akan bisa ditiru oleh manusia, siapapun dan sampai kapanpun. Allah menegaskan dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Israa: 88)
Al-Quran, bagi kaum yang bertakwa, adalah petunjuk yang sengaja Allah turunkan kepada mereka. Hal ini bisa terlihat dari ayat ini, “Al-Kitab itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.” Kata hudan, yaitu petunjuk, merupakan bentuk kata jadian (isim masdar). Artinya, ia tidak terikat oleh masa. Isim masdar bisa mengandung tiga masa, yaitu masa lampau, sekarang, maupun nanti. Maksudnya, al-Quran itu menjadi petunjuk bagi orang bertakwa hingga kapan pun.
Kata hudan (petunjuk atau hidayah) yang ditujukan kepada orang bertakwa, menurut al-Maragi, berarti jalan lurus. Sebab, yang ada bukan hanya hidayah tapi juga pertolongan atau kekuatan untuk melaksanakan hukum-hukum dalam al-Quran. Hal ini karena orang bertakwa (muttaqiin) mengambil manfaat dari isi al-Quran, sekaligus mengamalkan kandungannya. Tapi, jika kata hudan itu ditujukan kepada selain orang yang bertakwa, maka hanya mengandung pengertian sebagai petunjuk menuju kebaikan saja. Tak lebih dari itu.
Muttaqiin adalah bentuk jamak dari muttaqin, yang berarti orang-orang bertakwa, yang diambil dari kata jadian bahasa Arab, yaitu ittiqa. Sejumlah ulama berbeda pendapat tentang definisi takwa. Namun, ada satu hal menarik yang ditemukan oleh Prof Dr Syed Husain M. Jefri. Ia pernah melakukan penelitian tentang kata taqwa atau muttaqiin pada sajak-sajak dan kesusastraan Arab sebelum Islam datang. Hasilnya menunjukan bahwa istilah taqwa ternyata tidak pernah ada dalam sastra Jahiliyah. Ia hanya menemukan kata tersebut dalam bentuk kata kerja, yaitu attaqa, yattaqi, yattaquna.
Kata-kata itu, kata M. Jefri, tidak memiliki konotasi relijius, moral, maupun etika apapun. Kata-kata itu lebih diartikan sebagai ‘menjaga dari seseorang dari sesuatu yang membahayakan’. Oleh al-Quran, kata-kata itu kemudian diangkat dalam bentuk kata jadian, dan juga dengan pengertian moral dan etika yang mendalam. Istilah taqwa, dengan kata-kata jadiannya, disebut sebanyak 242 kali. 102 diantaranya ada dalam surat Makiyah dan 140 dalam surat Madaniyah.
Hasan Basri, seorang sufi terkemuka, mendefinikan kata taqwa sebagai bentuk takut pada apa yang diharamkan dan menjalankan apa yang diwajibkan. Dengan kata lain, menjauhkan diri pada sesuatu yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Definisi ini kemudian dipersingkat oleh Quraisy Shihab dengan mengatakan bahwa taqwa adalah menghindar.
Kata dia, ada tiga hal yang perlu dihindari sebagai wujud taqwa. Pertama, menghindari dari kekufuran dengan jalan beriman kepada Allah. Kedua, berupaya melaksanakan perintah Allah sepanjang kemampuan yang dimiliki dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, menghindar dari segala aktivitas yang menjauhkan pikiran dari Allah swt.
Ada satu riwayat yang menarik dalam soal ini. Suatu hari, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa. “Hai Ubay, apa itu takwa?” kata Umar bin Khattab.
Lalu Ubay menjawabnya sambil bertanya, ”Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”
“Pernah,” jawab Umar, singkat.
“Apakah gerangan yang engkau lakukan?” tanyanya lagi.
“Aku berhati-hati dan berupaya menghindarinya,” jawab Umar dengan pasti.
Kata Ubay dengan santai, “Itulah takwa.”
Beberapa pendapat ini sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan M. Dawam Rahardjo. Menurut dia, kata taqwa tidak harus selalu dikonotasikan dengan upaya menghindar, atau ‘takut’. Sehingga, kata taqwa sering disinonimkan dengan kata khasyiya, khauf, dan ru’b, yang juga berarti ‘takut’. Kata taqwa sama sekali bukan ‘takut’ dalam arti yang biasa. Sebab, ketiga kata itu merupakan implimentasi dari bentuk taqwa, namun bukan arti takwa itu sendiri (coba lihat QS. An-Nisa: 9 dan QS. Al-Baqarah: 38).
Takwa, menurut Prof Dr Hamka, justru terkadang mengandung arti berani dan melawan takut itu sendiri. Ini terlihat dari beberapa ayat al-Quran yang menyebutkan ciri-ciri orang bertakwa. Misalnya, tindakan mampu bersikap sabar (lihat QS. Al-Baqarah: 155), tidak ada suasana ketakutan dan kesengsaraan sehingga mau melaksanakan sedekah (lihat QS. Al-A’raf: 35), percaya kepada Tuhan yang kemudian diikuti dengan upaya terus-menerus untuk berjalan di jalan yang benar sehingga ia kehilangan rasa takutnya (lihat QS. Al-Ahqaf: 13), dan lainnya.
Sementara itu, Sayyid Quthb dalam Tafsir Fizilalil Quran mendefiniskan takwa sebagai sensitivitas dalam hati, kepekaan dalam hati, dan bersikap responsif. Artinya, takwa tidak hanya sekadar memahami teks-teks al-Quran maupun hadits. Takwa adalah implimentasi pada pemahaman al-Quran dan hadits. Di sini, takwa lebih berfungsi sebagai wujud aksi, ketimbang argumentasi. Sebab, orang yang bertakwa adalah orang yang memahami al-Quran dengan sepenuh hati dan kemudian mengamalkannya dengan sungguh-sungguh.Nah, dalam ayat ini, ada tiga hal yang saling berhubungan erat serta memiliki hukum sebab-akibat, yaitu al-Quran, petunjuk (hidayah), dan ketakwaan. Maksudnya, jika kita percaya pada al-Quran, maka al-Quran akan menjadi petunjuk. Jika kita diberi petunjuk, maka kita akan diantarkan pada derajat ketakwaan di mata Allah. Seperti apakah sifat dan ciri-cirinya? Ini akan kita temukan pada kelanjutan ayat ini.

Tafsir QS. Al-Baqarah: 4-5

Saat Kepatuhan Menuai Kenikmatan
Oleh: Uup Gufron
-----
Anda ingin memperoleh keberuntungan dalam hidup? Jadilah orang yang percaya pada al-Quran dan hari Kiamat. Itulah janji Allah, “Walladziina yu’minuuna bimaa unzila ilaika, wamaa unzila min qablika, wa bil-akhirati hum yuuqinuun. Ulaaika ‘alaa hudan min rabbihim, wa ‘ulaaika hum al-muflihuun.” (QS. Al-Baqarah: 4-5)
-----
Suatu ketika, seorang anak muda tengah melamun sendirian. Ia berdiam di tengah terik gurun pasir. Ada gelisah dalam hati, ada penasaran dalam sanubari. Anak muda itu kemudian mencoba menguak kabar yang sedang hangat tersiar. Konon, ada orang mengaku sebagai Nabi. Ini tentu kabar mengejutkan. Bagi dia, sosok Nabi pastinya punya banyak keistimewaan. Ia bukanlah orang biasa.
Namun, sosok Nabi yang dikabarkan ini justru sedang dimusuhi. Banyak orang tak suka pada dia, termasuk ibunya. Bahkan, ibunya selalu berpesan agar dia tidak mengikuti ajaran baru yang sedang hangat diperbincangkan di kota kelahirannya itu. “Jangan sekali-kali kamu masuk agama itu. Aku tidak akan mengakuimu sebagai anak,” ancam sang ibu penuh serius, pada anaknya.
Ancaman ini tentu bukan main-main. Apalagi ibunya dikenal sebagai orang yang tegas dan keras. Maklum, ibunya adalah saudagar kaya dan tokoh agama di kota tersebut. Ia memiliki banyak kerabat di kota itu dan memiliki garis keturunan cukup terhormat. Ia sangat menyayangi anaknya, sehingga si pemuda itu menjadi anak yang hidup dalam kesenangan dan serba kecukupan.
Namun, kali ini hatinya sedang gundah. Ia mendengar kabar bahwa sosok Nabi itu sedang gencar menyebarkan ajaran baru, yaitu agama yang mengajarkan tentang Tuhan yang Satu. Tuhan yang tak beranak dan tidak diperanakkan. “Siapakah dia?” tanya pemuda itu dalam hati.
Di tengah kegelisahan dan penasaran yang kian berkecamuk dalam sanubari, ia kemudian bergegas mencari tahu. Ia bertanya ke sejumlah orang Quraisy. Kata mereka, “Dia adalah Muhammad, dari bani Hasyim.”
“Di mana kira-kira saya bisa menjumpainya?” tanya pemuda itu.
“Biasanya ia (Muhammad) dan pengikutnya mengadakan pertemuan di bukit Shafa, yaitu di rumah Arqam bin Abil Arqam,” jelas salah seorang dari mereka.
Pemuda ini langsung bergegas menuju ke sana. Sesampainya di sana ia menjumpai Muhammad dan pengikutnya. Ia duduk dan bergabung dalam pertemuan itu. Namun, di tengah pertemuan, ia mendengar sesuatu yang beda dari apa yang diucapkan Muhammad. Ia melantunkan ayat-ayat al-Quran yang indah dan penuh makna. Ia merasakan kenyamanan saat mendengarkannya. Ia seakan berdiri di tengah oase yang dikelilingi padang pasir yang tandus dan gersang. Ia merasakan kedamaian dalam hati.
“Wahai Muhammad,” kata dia sambil mengacungkan tangan, “mulai saat ini aku masuk agamamu dan mempercayai apa yang kamu ucapkan (al-Quran) sebagai wahyu dari Tuhanmu.”
Sejak itulah ia menjadi seorang muslim. Ketika pulang ke rumah, ia menceritakan hal itu pada sang ibu. Kontan saja ibunya marah. Ia langsung menampar mukanya. Namun, sebelum tangannya mendarat di pipi, tiba-tiba tangannya terasa kaku dan tergulai sendiri. Dari wajah anaknya terpancar cahaya silau. Pemuda itu tersenyum sambil membacakan ayat al-Quran, dan berkata, “Ibu, al-Quran mengajarkan tentang keindahan,” kata pemuda itu.
Pemuda itu tak lain adalah Mush’ab bin Umair. Ia sangat dibanggakan Nabi. Dalam sejarah Islam ia dikenal sebagai orang kepercayaan Nabi yang ditugaskan mengantarkan pesan-pesan dakwah. Dadanya juga pernah dielus-elus oleh Nabi. Ia masuk Islam dibawah tekanan ibu sendiri, yaitu Khusnus binti Malik.
Kisah hampir serupa juga menimpa Umar bin Khattab. ‘Raja Singa Padang Pasir’ itu memeluk Islam lantaran mendengarkan puterinya sedang membaca ayat al-Quran. Semula ia sangat membenci dan memusuhi Nabi. Ia bersama Abu Jahal begitu getol memeranginya. Namun, hatinya luluh ketika mendengar lantunan al-Quran. Ia membenarkan semua yang ada dalam al-Quran seketika itu. Ia pun menjadi pembela Islam di barisan paling depan.

Ahli Kitab dan Ajaran Nabi
Dua kisah ini mengingatkan kita perihal orang yang cinta pada al-Quran. Mush’ab bin Umair dan Umar bin Khattab adalah sosok orang beriman yang menerapkan kecintaannya pada al-Quran dengan membenarkan semua yang terkandung dalam al-Quran. Orang seperti ini dikategorikan sebagai orang yang benar-benar mencapai derajat takwa di mata Allah.
Ada satu hal penting yang terkandung dalam permulaan Surat al-Baqarah, yaitu lima ciri orang yang bertakwa kepada Allah swt. Orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah adalah mereka yang mempercayai hal gaib, mengerjakan shalat, dan menginfakkan sebagian hartanya (tiga hal ini dikupas pad rubrik Tafsir di Hidayah edisi 81). Sementara dua hal lainnya adalah percaya pada al-Quran dan kitab-kitab seberlumnya, serta mempercayai bakal terjadinya hari Kiamat.
Takwa, bagi Sayyid Quthub, adalah perasaan di dalam hati, kondisi nurani, sumber arah perjalanan dan amalan, penyatu perasan batin dan tindakan lahir, yang menghubungkan manusia dengan Allah baik secara sembunyi maupun terang-terangan, baik ketika ia sendirian maupun di hadapan banyak orang. Orang yang memiliki ketakwaan yang tinggi di hadapan Allah, maka ia akan memperoleh hidayah, hingga kemudian ia akan memperoleh keberuntungan dalam hidup ini, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah berfirman, “Walladziina yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablik, wa bil-akhirati hum yuuqinuun. Ulaaika ‘alaa hudan min rabbihim, wa ‘ulaaika hum al-muflihuun. [Dan mereka yang beriman kepada yang telah telah diturunkan kepadamu dan yang telah diturunkan sebelummu, serta tentang (kehidupan) akhirat mereka yakini. Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan itu pula orang-orang yang beruntung] (QS. Al-Baqarah: 4-5). Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud “yang telah diturunkan kepadamu” adalah Kitab al-Quran, sementara “yang telah diturunkan sebelummu” adalah kitab Zabur, Taurat dan Injil.
Sementara itu, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya, menyebutkan bahwa “yang telah diturunkan kepadamu” itu mencakup dua hal, yaitu ayat yang tertulis dan ayat yang tidak tertulis. Ayat yang tertulis, menurut dia, adalah pesan-pesan yang terkandung dalam al-Quran (lilhat QS. an-Nahl: 44). Sedangkan yang tidak tertulis adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, hal ini tentunya mencakup ucapan, perilaku dan ketetapan Nabi (lihat QS. an-Najm: 3-4).
Kemudian kata yu’minuuna (yang beriman), kata al-Maraghi, adalah ahli kitab yang beriman kepada Allah dan Rasulnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas. Kata yu’minuuna pada ayat ini berbeda dengan kata yu’minuuna pada ayat sebelumnya, yaitu QS. al-Baqarah: 3. Dalam ayat 3, kata yu’minuuna ditujukan kepada orang-orang Arab Jahiliyah yang beriman kepada Allh dan Rasulnya. Sementara dalam ayat ini adalah ahli kitab.
Ahli kitab adalah sebutan untuk komunitas yang mempercayai dan berpegang kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan selain al-Quran, semisal Taurat maupun Injil. Berdasarkan petunjuk al-Quran, ulama tafsir dan fiqh sepakat bahwa komunitas yang disebut ahli kitab adalah golongan Yahudi dan Nasrani (lihat QS. al-Baqarah: 120). Namun, Muhammad Abdul Karim Syahristani, ulama ahli ilmu kalam, membatasi istilah ahli kitab hanya pada kalangan Yahudi dan Nasrani yang dari keturunan Bani Israil saja.
Sebaliknya, Quraish Shihab justru memahami istilah ahli kitab sebagai penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di manapun, dan keturunan siapapun. Argumentasi penulis buku Tafsir al-Misbah ini dilandaskan pada kandungan QS. an-An’am: 156, yang menyebutkan bahwa penggunaan al-Quran terhadap istilah ahli kitab adalah dua golongan, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Memang, perdebatan mengenai keberadaan ahli kitab hingga kini masih silang pendapat. Ada yang menyatakan bahwa ahli kitab itu sudah tidak ada, seiring dengan sudah tidak ‘murninya’ kandungan kitab Taurat dan Injil. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa golongan ahli kitab itu masih ada hingga sekarang. Tapi dalam kenyataannya memang tidak semua ahli kitab bersikap sama terhadap umat Islam. Oleh karena itu, al-Quran mengajarkan agar umat Islam menyikapi terhadap ahli kitab ini sesuai dengan sikap mereka terhadap Islam (lihat QS. al-Ankabut: 46).

Sindiran Untuk Kaum Yahudi
Lantas, untuk apa kata yu’minuuna ditujukan pada ahli kitab? Muhammad Mutawalli Sya’rawi dalam tafsirnya menjelaskan hal ini dalam konteks sejarah. Menurutnya, ketika Islam datang, Islam langsung dihadapkan pada dua kelompok manusia. Pertama adalah kelompok kafir, yaitu yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua adalah kelompok ahli kitab, yaitu kelompok orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya serta kitab-kitab-Nya.
Kelompok yang pertama cenderung terus terang dalam memusuhi Nabi. Apa yang dilakukan Umar bin Khattab sebelum masuk Islam adalah buktinya. Namun, setelah ia masuk Islam, ia justru menjadi pembela Islam di barisan terdepan. Beda halnya dengan kelompok kedua yang cenderung sembunyi-sembunyi dan menikam dari belakang. Hal inilah yang menimpa Nabi ketika berada di Madinah. Kaum Yahudi menikam dan memusuhi Nabi dari arah belakang.
Padahal, Allah sebenarnya telah memberikan identitas kenabian Muhammad dalam kitab-kitab sebelumnya, yaitu Taurat dan Injil, baik soal nama maupun sifat-sifatnya. Allah menganjurkan kepada ahli kitab yang akan mengenali Rasulullah agar percaya kepadanya. Sifat-sifat yang dijelaskan dalam kitrab suci sebelum al-Quran itu membuat mereka (ahli kitab) betul-betul mengenali Rasulullah sebagaimana mereka mengenali anak mereka sendiri.
Anda tentu masih ingat dengan nama Waraqah bin Naufal. Ia adalah seorang pendeta dari kaum Nasrani. Ia tahu persis soal kedatangan Nabi yang bakal diutus Allah di tanah Arab. Bahkan, Waraqah dikenal sebagai orang pertama yang mengakui kenabian Muhammad setelah menerima wahyu yang pertama di Gua Hiro. Sayangnya, pengakuan Waraqah ini tidak diikuti oleh kaum Nasrani dan Yahudi kala itu, karena ia terlebih dulu meninggal dunia di usianya yang sudah tua.
Orang Yahudi di Madinah sebenarnya juga mengetahui perihal ini. Sebelum kedatangan Nabi dan para sahabat di sana, kaum Yahudi sempat berselisih dengan penduduk asli Arab di Madinah, yaitu suku Aus dan Khazraj. Orang Yahudi kemudian mengancam, “Masa kedatangan seorang Rasul yang akan kami imani sudah dekat dan bersamanya kami akan menghancurkan kalian sebagaimana hancurnya kaum ‘Ad.” Ancaman ini mengindikasikan bahwa mereka (Yahudi) sebenarnya mengharapkan kedatangan Nabi itu.
Namun, ketika Rasulullah datang ke Madinah, justru orang Yahudi tidak mengakui Muhammad sebagai Nabi. Mereka bahkan memeranginya, sementara suku Aus dan Khazraj menyambutnya dengan penuh kehangatan (lihat QS. al-Baqarah: 89). Kaum ini kemudian mengimani Rasul dan masuk Islam, serta menjadi golongan pembela dan penolong umat Islam, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kaum Anshar.
Orang Yahudi yang tinggal di Madinah adalah sekelompok orang yang berasal dari bangsa Romawi yang mengalami pengusiran beberapa kali di Palestina. Mereka menganggap bahwa kedudukan mereka lebih tinggi ketimbang bangsa Arab asli yang tinggal di Madinah. Akibatnya, mereka angkuh dan enggan untuk bergabung dengan ajaran Nabi.
Nabi Muhammad, menurut Buya Hamka, sebenarnya telah menjelaskan bahwa kedatangan Islam sebenarnya tidak hendak memusuhi Yahudi, tetapi justru meneruskan usaha para rasul yang terdahulu. Sebab, Yahudi dan Nasrani adalah agama satu rumpun, yang berakar pada satu agama, yaitu agama “menyerahkan diri kepada Allah”, yang telah dimulai sejak Nabi Ibrahim.
Ibrahim menurunkan silsilah ke Nabi Ishak, sementara Nabi Ya’qub melahirkan kaum dari bangsa Bani Israil. Nabi Ibrahim memiliki anak bernama Nabi Ismail dan menurunkan keturunan hingga Nabi Mahammad dan Arab Musta’ribah. Nah, kedatangan Nabi Muhammad justru mengajak kaum Yahudi dan Nasrani untuk kembali kepada agama semula, yang diajarkan Nabi Ibrahim.
Namun, kenabian Muhammad ternyata tetap tidak diakui. Ayat ini sebenarnya tertuju untuk mereka sekaligus menyindirnya, yaitu ahli kitab, yang percaya pada kitab-kitab mereka agar juga meyakini al-Quran sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran juga menyinggung soal Kiamat untuk menyindir mereka. Penggalan ayat “Wa bil-akhirati hum yuuqinuun.[Serta tentang (kehidupan) akhirat mereka yakini]”. Soal Kiamat tidak pernah dijumpai dalam Kitab Taurat maupun Injil. Kedua kitab itu hanya berbicara tentang kehidupan dunia belaka dan membuang jauh-jauh hal yang bersifat ukhrawi.
Ayat ini, secara implisit, juga menyindir siapa saja yang tidak mempercayai hari Kiamat. Jika ada orang yang percaya pada Allah, hal gaib, kemudian menjalankan shalat dan berzakat, serta percaya pada al-Quran, tapi tidak mempercayai hari Kiamat, maka ia tidak dapat dibilang sebagai orang yang beriman (mukmin).

Kiamat itu Rumah Kembali
Hari akhir ialah hari pembalasan terhadap segala amal perbuatan manusia. Iman terhadap hari akhir berarti percaya terhadap semua kejadian yang ada melalui keterangan-keterangan yang ada dalam al-Quran maupun Hadits. Misalnya, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan amal), sirath (jembatan shirath al-mustaqin), surga, dan neraka.
Abu Ja’far dalam Tafsir at-Thabari berpendapat bahwa akhirat adalah sifat bagi rumah tempat kembali. Hal ini Allah singgung dalam QS. al-Ankabut: 64. “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesunguhnya rumah akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, jikalau mereka mengetahui.”
Kiamat disebut hari akhir karena ia merupakan tempat tingal yang terakhir setelah tempat tinggal pertama, yang disebut dunia. Dinamakan akhirat juga kerena ia diciptakan paling terakhir, seperti halnya dunia (yang berarti dekat) disebut dunia karena ia diciptakan paling dekat.
Yang terkait dengan hari akhir adalah segala sesuatu yang terjadi setelah Kiamat, yang mencakup soal kebangkitan umat manusia dari alam kubur, kemudian dikumpulkan di Padang Mahsyar, perhitungan amal (hisab), soal shirath al-mustaqim, hingga pada persoalan surga dan neraka.
Yakin pada hari Kiamat adalah membenarkan secara pasti tanpa keraguan atau syak di dalamnya. Itu bisa diketahui pada diri seseorang melalui tingkah perbuatannya. Siapapun yang melakukan perbuatan dosa, seperti berzina, mabuk, mencuri, dan sebaginya, berarti ia tidak percaya pada hari Kiamat. Sebab, orang yang percaya pada hari Kiamat tentu tak akan melakukan hal demikian. Orang bisa dikatakan percaya pada hari kiamat apabila ia dapat mengendalikan jiwa dalam segala tingkah laku.
Nah, lima ayat dalam Surat al-Baqarah ini, yang menceritakan perihal ciri-ciri orang takwa, ditutup dengan satu ayat, “Ulaaika ‘alaa hudan min rabbihim, wa ‘ulaaika hum al-muflihuun [Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan itu pula orang-orang yang beruntung]” (QS. Al-Baqarah: 5). Ada dua hal yang diperoleh orang yang menjaga hatinya dalam keadaan iman dan takwa. Ia akan memperoleh petunjuk dari Allah dan ia pun akan memperoleh kemenangan dalam hidup.
Ismail Haqqi al-Buruswi menjelaskan dalam Kitab Tafsir Ruhul Bayan, bahwa orang beruntung (muflihuun) itu seperti orang yang memperoleh hujan yang lebat, seolah-olah terbuka baginya jalan-jalan keuntungan dan tidak terkunci. Ada tiga keuntungan yang akan diperoleh. Pertama, keuntungan ruhaniah. Mereka (orang takwa) tidak akan mudah terkecoh oleh tipu daya jahat dari teman-teman di sekelilingnya. Kedua, selamat dari kekafiran, kesesatan, kebodohan, bencana, siksa neraka, dan lepas dari segala hal yang merugikan. Ketiga, mereka tetap berada dalam kenikmatan selama berada hidup di dunia. Mereka tidak mudah sedih, miskin, sakit, dan teraniaya. Lebih dari pada itu, orang ini bakal berkumpul di surga bersama orang-orang yang beriman dan bertakwa. Sejuta kenikmatan menunggu di sana. Semoga saja kita termasuk dalam golongan ini. Mudah-mudahan!

Mei 09, 2008

Tafsir QS. Al-Baqarah: 3

Mengungkap Bahtera Takwa dalam Hati
Oleh: Uup Ghufron
-----
Ada banyak ciri orang bertakwa. Diantaranya, “Al-ladziina yu’minuuna bil-ghaibi wa yuqiimuuna as-shalaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun.” Artinya, “Yaitu orang-orang yang beriman pada yang gaib, yang menunaikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezekinya.” (QS. Al-Baqarah: 3) Mungkinkah, satu diantaranya ada pada diri Anda?
-----
Suatu hari, dua laki-laki saleh bertemu di tengah jalan. Mereka adalah Hatim dan Ashim bin Yusuf. Diceritakan bahwa Hatim, laki-laki yang terkenal sangat zuhud itu, bertemu muka dengan Ashim tanpa disengaja. Bagi Ashim, Hatim adalah sosok laki-laki yang sangat ia kagumi sejak dulu. Maka, pada pertemuan itu, Ashim tak segan mengutarakan sebuah pertanyaan, “Wahai Hatim, apakah kamu merasa bahwa shalat kamu sudah baik?”
Hatim langsung menjawab singkat, “Ya.”
“Bagaimana kamu shalat?” tanya Ashim lagi.
“Jika waktu shalat sudah dekat, aku langsung bergegas wudlu dengan sebaik-baiknya,” kata Hatim, “Kemudian aku pergi ke tempat biasa aku shalat. Aku menenangkan seluruh anggota badanku, seolah-olah Ka’bah terlihat di pelupuk mataku, keagungan terhimpun dalam kalbuku, Allah menyaksikanku, Dia mengetahui yang ada dalam kalbuku dan seolah-olah kakiku berada di atas jembatan shirath al-mustaqim.”
“Terus....?” tanya Ashim dengan penuh penasaran.
“Aku merasa bahwa surga ada di kananku, neraka ada di kiriku dan malaikat maut ada di belakangku. Aku merasa inilah shalatku yang terakhir. Kemudian aku takbir dengan takbir yang baik, membaca ayat al-Quran dengan baik dan meresapinya. Kemudian aku ruku’ dengan tawadhu’ (rendah hati), lalu sujud dengan penuh kerendahan, duduk dengan sempurna, tasyahud dengan penuh pengharapan, salam dengan tetap memelihara yang sunah.”
“Lalu....?” tanya Ashim lagi.
“Aku menyerahkan shalat dengan penuh keikhlasan. Aku berdiri dengan hati yang diliputi perasaan penuh harapan, kemudian aku bertekad untuk selalu sabar.”
Ashim berkata, “Wahai Hatim, apakah shalatmu itu selalu seperti itu?”
“Demikianlah shalatku semenjak 30 tahun yang lalu,” jawab Hatim.
Ashim pun menangis terisak-isak dan berkata, “Aku belum pernah shalat seperti itu, selamanya. Terima kasih, kamu telah mengajariku tentang shalat.”
Setelah itu, dua insan itu pun berpisah. Hatim pergi ke arah Barat, sementara Ashim pergi ke arah timur. Satu hal yang Ashim peroleh dari perkataan Hatim, yaitu pelajaran yang sangat berharga tentang shalat dan alam gaib. Keduanya memang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Percaya Hal Gaib
Penggalan kisah pendek ini mengingatkan kita bahwa shalat ternyata bukanlah sekadar ritual yang dijabarkan dalam bentuk aktivitas ragawi. Lebih dari itu, shalat juga mengajarkan tentang alam gaib. Sebab, dalam shalat kita diajarkan agar benar-benar menghadap Allah. Seperti konsep ihsan, kata Nabi, “Kamu harus beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya meskipun kamu tidak melihat-Nya, padahal Allah melihatmu.”
Inilah yang diajarkan Nabi kepada umat Islam. Bentuk percaya atau iman pada hal yang gaib merupakan ciri atau tanda orang bertakwa. Al-Quran menyebutnya, “al-ladziina yu’minuuna bil-ghaibi”, yaitu orang-orang yang percaya pada yang gaib. Inilah bahtera pertama orang bertakwa yang disebut dalam ayat ini. Iman adalah pembenaran secara pasti yang dibarengi dengan ketaatan dan penyerahan jiwa. Menurut syara’, orang yang beriman adalah orang meyakini dengan sepenuh hati, mengakui dengan lisan, dan mengerjakannya dengan amal perbuatan.
Selanjutnya, kata al-ghaib berarti segala sesuatu yang tidak diketahui oleh manusia. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ini. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menyebutkan bahwa kata al-ghaib berarti sesuatu yang datang dari Allah. Abu Ja’far an-Nuhas berpendapat bahwa kata al-ghaib dalam ayat ini adalah al-Quran. Hal ini didasarkan pada sebab turunnya ayat ini, yaitu ketika Kaum Yahudi masih ragu tentang keberadaan al-Quran sebagai Kitab Suci. Sehingga, percaya pada al-Quran merupakan sindiran untuk mereka.
Sedangkan Ismail Haqqi al-Buruswi dalam Tafsir Ruhul Bayan, berpandangan bahwa kata al-ghaib mengandung arti sangat luas. Gaib berarti sulit diketahui keberadaannya oleh pancaindra dan akal manusia. Pancaindra tidak dapat menemukan secara tiba-tiba. Perkara gaib terbagi dua. Pertama, gaib yang tidak mempunyai dalil (indikasi), sebagaimana disyaratkan oleh Allah dalam QS. al-An’am: 59. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib.”
Kedua, gaib yang mempunyai dalil, seperti adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, kenabian, dan hal-hal yang berkaitan dengan kiamat, baik soal kebangkitan manusia, berkumpulnya manusia di padang mahsyar, maupun soal hisab dan pembalasan amal baik dan buruk. Begitu juga soal surga, neraka, jin, setan, maupun malaikat. Kesemuanya adalah perkara gaib yang harus dipercayai keberadaannya.
Quraish Shihab juga sependapat dengan penafsiran ini. Ia berpandangan bahwa hal yang gaib bagi manusia itu beragam sesuai dengan tingkatannya. Namun, yang dimaksud dalam ayat ini adalah hal gaib yang diinformasikan oleh al-Quran dan Sunnah. Selanjutnya, hal yang gaib itu ada dua macam, yaitu gaib yang mutlak, yang tidak dapat terungkap sama sekali dan ada juga gaib yang bersifat relatif. Nah, perkara gaib yang bersifat relatif inilah yang bisa manusia rasakan.
Namun, bagi Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, dalam kitab tafsirnya, menyebutkan bahwa kegaiban bersifat tak diketahui sama sekali. Kegaiban adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak lain, termasuk oleh bangsa jin sendiri. Jika ada seorang dukun mengetahui siapa yang mencuri barang dengan menggunakan perangkat jin, maka itu juga bukan dinamakan mengetahui yang gaib.
Jika ada ilmuan sanggup menyingkap rahasia-rahasia alam, maka itu juga tidak disebut mengetahui yang gaib. Sebab, mereka menemukan yang sudah ada dengan beberapa pendahuluan atau penelitian, yang akhirnya memperoleh suatu kesimpulan. Hal yang gaib, kata dia, adalah sesuatu yang tanpa pendahuluan dan pengetahuan. Seseorang, dalam hal ini, tidak mungkin sampai bisa ke arah sana, sekalipun ia adalah malaikat (lihat QS. al-Baqarah: 31-32).
Sebab itu, jin maupun malaikat juga tidak tahu perkara yang gaib. Ketika Nabi Sulaiman wafat, misalnya, para jin tidak mengetahui hal itu. Mereka bisa tahu bahwa Sulaiman telah meninggal dunia setelah ia roboh karena tongkatnya dimakan ulat (lihat QS. al-Saba: 14). Itu artinya bahwa mereka juga tidak tahu perkara yang gaib.
Dalam hal ini, masih menurut Sya’rawi, perkara gaib adalah sesuatu yang hanya Allah saja yang tahu. Tidak ada makhluk yang Dia beritahu soal ini, kecuali para Rasul yang Dia kehendaki. “Allah saja yang mengetahui hal yang gaib, dan Dia tidak membertahukan gaib itu kepada siapapun. Kecuali kepada para Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakang” (QS. Jin: 26-27)
Namun begitu, ketidakmampuan manusia untuk menyaksikan perkara gaib bukan berarti hal itu tidak ada. Sebab, hanya alat penglihatan atau mata manusia saja yang tidak mampu melihatnya, karena keterbatasan. Sama seperti halnya ketika kita mengakui bahwa kuman itu memang ada, meskipun kita tidak sangup melihatnya dengan kasat mata. Karena bagaimana pun juga, mata memiliki keterbatasannya sendiri.
Sementara itu, jika mengacu pada QS. al-Baqarah: 14, yang disebut gaib adalah kalbu atau hati. Karena kalbu itu tertutup, maka ia tergolong hal yang gaib. Hati seseorang tak ada yang bisa mengetahuinya, kecuali ia dan Allah semata. Karena itu, hati juga disebut perkara gaib. Itulah sebabnya kita juga selalu memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan ketetapan hati dalam kondisi iman dan takwa.
Dari sudut pandang lain, kegaiban juga terbagi dua, yaitu kegaiban pihak lain kepada manusia dan kegaiban manusia kepada pihak lain. Adapun pihak lain yang gaib kepada manusia adalah alam arwah. Roh itu ada ketika manusia ada di alam roh. Roh itu gaib lantaran manusia masih bergantung pada penuntun dan ia melihat dengan indera yang lima, yang berasal dari alam jasad (tubuh kasar).
Adapun kegaiban manusia pada pihak lain adalah kegaiban yang benar-benar gaib, yaitu Rabb yang wujud-Nya tidak bisa dilihat oleh manusia. Kata al-ghaib yang didahului dengan kata sambung bil (pada) mengandung arti pengakuan. Dan terkadang pula berarti kepercayaan penuh, dan orang-orang yang percaya tentu memiliki rasa aman dan tenteram.
Lantas, apa faidahnya jika kita percaya pada perkara gaib? Dalam hal ini tentu saja akan berdampak pada nilai ketakwaan seseorang. Sebab, jika ia mempercayai hal yang gaib, ia akan semakin takwa kepada Allah. Bahkan, mempercayai perkara yang gaib inilah yang akan menjadi landasan dasar untuk meningkatkan ketakwaan seseorang kepada Allah swt. Ahmad Mustafa al-Maraghi, dalam kitab tafsirnya, berkesimpulan bahwa orang yang beriman kepada hal yang gaib sangat mudah membenarkan adanya pencipta langit dan bumi serta seisinya.
Sebab dengan begitu, ia akan semakin taat dalam menjalankan ibadah dan amal saleh. Di samping itu, percaya pada perkara gaib juga bisa mengantarkan manusia dari persimpangan jalan untuk mengangkat martabat manusia dari dunia binatang. Hal ini ditegaskan Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran. Sayangnya, kata dia, golongan materialis di zaman ini ingin mengambalikan manusia ke titik terendah, yaitu ke dunia binatang, yang keberadaannya tidak lain hanya untuk sesuatu yang dapat dicapai oleh pancaindra saja. Mereka mengatasnamakan itu semua sebagai kemajuan.
Lebih dari pada itu, percaya pada hal gaib ternyata bisa beriimplikasi pada amal saleh seseorang. Apa yang dirasakan Hatim seperti dalam kisah di atas adalah contohnya. Kepercayaan yang tinggi pada perkara gaib membawanya pada derajat ketakwaan yang tinggi. Ia menjalankan shalatnya dengan penuh sungguh-sungguh dan serasa berada di tengah alam gaib, yang disaksikan oleh Allah, malaikat maut, berdiri di atas shirath al-mustaqim, serta dikelilingi surga dan neraka.

Menunaikan Shalat
Kondisi shalat seperti inilah yang disinyalir Sayyid Quthb akan mengantarkan manusia pada kehidupan lebih tinggi di dunia ini. Ia akan menjadi pribadi yang lebih mulia ketimbang makhluk Allah lainnya. Sebab, shalat seperti itu akan menjadi kekuatan dalam hidupnya, sehingga ia tidak mudah gelisah dan panik dalam menghadapi segala persoalan hidup. Ia akan memiliki persepsi, perasaan, dan perilaku Rabbaniyah, yaitu orang yang selalu disertai bimbingan ketuhanan.
Inilah bahtera kedua orang yang bertakwa, “yuqiimuuna as-shalaata”, yaitu “yang mendirikan shalat”. Shalat sangat penting dalam sendi kehidupan. Dalam penggalan ayat ini Allah menyebutkan kata ‘yuqiimuuna’, yang diambil dari akar kata ‘qaama’, yang berarti ‘berdiri’. Lawan dari kata ini adalah bermalas-malasan duduk dan membiarkan sebuah pekerjaan itu.
Dalam menerjemahkan kata ‘qaama’, para ulama memang banyak berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kata ini diambil dari kata yang menggambarkan tertancapnya tiang sehingga ia tegak lurus dan mantap. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu terambil dari kata yang melukiskan pelaksanaan suatu pekerjaan dengan giat dan benar.
Jalaluddin al-Mahalli dan jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain menerjemahkannya dengan “melaksanakannya berdasarkan hak-haknya”. Qurasih Shihab sendiri tidak sepakat jika kata ‘qaama’ dalam konteks ini diterjemahkan dengan istilah ‘mendirikan’. Ia lebih suka menerjemahkannya dengan istilah “melaksanakan shalat secara benar dan berkesinambungan”. Namun begitu, apapun perbedaannya, yang terpenting bahwa ciri kedua takwa ini adalah mengerjakan ibadah shalat secara berkesinambungan dan penuh kesungguhan. Tentunya shalat yang dimaksud adalah shalat yang lima waktu.
Dalam menanggapi soal perintah wajibnya shalat, al-Burusywi membagi empat kelompok. Pertama, orang yang tidak mau menerima perintah shalat. Kelompok orang ini dikepalai oleh Abu Jahal (lihat QS. al-Qiyamah: 31). Kedua, kelompok orang yang menerima shalat tapi tidak mau mengerjakannya. Mereka adalah ahli kitab (lihat QS. Maryam: 59). Ketiga, kelompok orang yang kadang-kadang mengerjakan shalat, tapi kadang juga tidak. Mereka melaksanakannya dengan penuh kemalasan. Mereka adalah golongan munafiq (lihat QS. an-Nisa: 142). Keempat, kelompok orang yang menerima dan mengerjakan shalat tepat waktu dan menjaga syarat-syaratnya. Kelompok seperti ini dicontohkan oleh Nabi sendiri.
Bagi al-Maragi, menunaikan shalat dalam penggalan ayat ini tidak sekedar sebatas menjalankannya saja secara berkesinambungan. Shalat haruslah dikerjakan dengan penuh kekhusyukan dalam setiap bagian-bagian gerakan shalat. Selain itu, hati tertuju pada Allah swt, seakan-akan Dia melihatnya.
Lebih dari pada itu, ada beberapa catatan penting soal shalat. Pertama, shalat haruslah dapat mencegah seseorang dari perbuatan yang keji dan munkar (lihat QS. al-Ankabut: 45). Kedua, shalat haruslah dilakukan tepat waktu (lihat QS. an-Nisa: 103). Ketiga, shalat hendaknya dilakukan secara berjamaah (lihat QS. al-Baqarah: 40). Keempat, ini yang terpenting, yaitu shalat haruslah dilakukan dengan penuh kekhusukan (lihat QS. al-Mukminun: 2).
Kondisi khusuk yang sempurna terletak pada saat seseorang sujud dalam shalatnya. Sujud merupakan puncak pernyataan kerendahan dan kehinaan diri yang menjadi bagian dari perilaku shalat. Dengan sujud, manusia akan terputus keterikatannya pada dunia yang rendah, dan akan meningkat ke alam ruhaniah yang tinggi. Ia akan meninggalkan martabat kemanusiaan, kebinatangan dan tumbuh-tumbuhan, yang diwujudkan dalam pernyataan penuh pengabdian, menghilangkan sikap egoisme kemanusiaan, serta berupaya sungguh-sungguh untuk memperoleh anugerah Allah.

Menafkahkan Sebagian Rezeki
Setelah seseorang memperoleh anugerah Allah, maka haruslah menafkahkannya di jalan Allah. Ibnu Abi Hatim menafsirkan penggalan ayat “mimmaa razaqnaahum yunfiquun” dengan “mengeluarkan zakat penuh kepasrahan”. Senada dengan penafsiran ini adalah Ibnu Katsir. Ia menafsirkannya sebagai zakat wajib. Inilah bahtera ketiga orang bertakwa, yaitu mengeluarkan zakat dari rezeki yang ia miliki.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya pada harta itu terdapat kewajiban selain zakat.” (HR. at-Tirmizi) Namun, bagi al-Maragi, penggalan ayat ini tidak harus selalu dikaitkan dengan mengeluarkan zakat. Kata ‘ar-rizqu’ menurut bahasa adalah pemberian. Kemudian, kata ini banyak dipakai untuk pengertian barang-barang yang dimanfaatkan oleh hewan dan manusia. Semua yang bisa dimanfaatkan (dikonsumsi) adalah rezeki.
Sedangkan kata ‘infaq’ mencakup nafkah wajib, yaitu pemberian nafkah seorang suami kepada isteri dan anak-anaknya. Di samping itu, menafkahkan sebagian harta juga mencakup sedekah yang bersifat sunah. Dengan kata lain, penggalan ayat tersebut mengandung arti bahwa ciri atau sifat orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa menafkahkan sebagian hartanya kepada keluarga maupun orang lain.
Berbeda halnya dengan penafsiran Sya’rawi. Ia tidak sependapat jika berbicara soal rezeki hanya selalu dikaitkan dengan yang berhubungan harta atau materi. Anggapan ini, menurutnya, adalah salah. Rezeki adalah segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Kekuatan termasuk rezeki, ilmu adalah rezeki, hikmah adalah rezeki, dan rendah hati juga rezeki. Pendek kata, semua yang mengandung gerakan yang bermanfaat dalam hidup ini adalah rezeki.
Jika seseorang tidak mempunyai harta untuk diinfakkan, tapi punya kesehatan, maka kesehatan itu bisa digunakan untuk menolong orang lain. Jika seseorang memiliki budi pekerti yang baik, bisa digunakan dengan cara menolong orang lain dari segala musibah yang menimpanya. Begitu juga jika seseorang hanya memiliki ilmu tapi tidak memiliki harta, bisa menafkahkan kemampuannya untuk kemaslahatan umat dengan cara memberi nasihat dan saran.
Hal ini seperti apa yang diutarakan oleh Nabi, “Ilmu yang tidak dipelajari, bagaikan gudang harta yang tidak dibelanjakan.” Artinya, ilmu juga bisa diartikan sebagai rezeki. Upaya untuk menginfakkan itu memang tidak selalu bernuansa materi. Apapun yang dimiliki, selama itu bisa berguna untuk orang lain, maka ia bisa menginfakkannya untuk di jalan Allah.
Pendek kata, sebagian ulama ahli hukum menafsirkan kata infak ditinjau dari segi harta kekayaan, sedangkan ulama ahli hakikat menafsirkannya berdasarkan kondisi pemilik yang wajib zakat. Artinya, infak orang kaya dengan hartanya. Infak para abidin (hamba yang tidak kaya harta) dengan kalbunya. Infak orang–orang kaya dengan mengeluarkan harta dari kantongnya, dan infak orang-orang fakir dengan menumbuhkan semangat dalam kalbunya. Yang jelas, menjadi orang yang bertakwa itu ternyata mudah. Nah, ketiga sifat ini merupakan bahtera orang yang bertakwa, yaitu percaya pada hal gaib, menunaikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezekinya. Masih ada beberapa lagi ciri dari sifat orang yang bertakwa. Itu akan kita bahas di edisi berikutnya, dan masih dalam kelanjutan ayat ini. Insya Allah..!