Mei 09, 2008

Tafsir QS. Al-Baqarah: 3

Mengungkap Bahtera Takwa dalam Hati
Oleh: Uup Ghufron
-----
Ada banyak ciri orang bertakwa. Diantaranya, “Al-ladziina yu’minuuna bil-ghaibi wa yuqiimuuna as-shalaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun.” Artinya, “Yaitu orang-orang yang beriman pada yang gaib, yang menunaikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezekinya.” (QS. Al-Baqarah: 3) Mungkinkah, satu diantaranya ada pada diri Anda?
-----
Suatu hari, dua laki-laki saleh bertemu di tengah jalan. Mereka adalah Hatim dan Ashim bin Yusuf. Diceritakan bahwa Hatim, laki-laki yang terkenal sangat zuhud itu, bertemu muka dengan Ashim tanpa disengaja. Bagi Ashim, Hatim adalah sosok laki-laki yang sangat ia kagumi sejak dulu. Maka, pada pertemuan itu, Ashim tak segan mengutarakan sebuah pertanyaan, “Wahai Hatim, apakah kamu merasa bahwa shalat kamu sudah baik?”
Hatim langsung menjawab singkat, “Ya.”
“Bagaimana kamu shalat?” tanya Ashim lagi.
“Jika waktu shalat sudah dekat, aku langsung bergegas wudlu dengan sebaik-baiknya,” kata Hatim, “Kemudian aku pergi ke tempat biasa aku shalat. Aku menenangkan seluruh anggota badanku, seolah-olah Ka’bah terlihat di pelupuk mataku, keagungan terhimpun dalam kalbuku, Allah menyaksikanku, Dia mengetahui yang ada dalam kalbuku dan seolah-olah kakiku berada di atas jembatan shirath al-mustaqim.”
“Terus....?” tanya Ashim dengan penuh penasaran.
“Aku merasa bahwa surga ada di kananku, neraka ada di kiriku dan malaikat maut ada di belakangku. Aku merasa inilah shalatku yang terakhir. Kemudian aku takbir dengan takbir yang baik, membaca ayat al-Quran dengan baik dan meresapinya. Kemudian aku ruku’ dengan tawadhu’ (rendah hati), lalu sujud dengan penuh kerendahan, duduk dengan sempurna, tasyahud dengan penuh pengharapan, salam dengan tetap memelihara yang sunah.”
“Lalu....?” tanya Ashim lagi.
“Aku menyerahkan shalat dengan penuh keikhlasan. Aku berdiri dengan hati yang diliputi perasaan penuh harapan, kemudian aku bertekad untuk selalu sabar.”
Ashim berkata, “Wahai Hatim, apakah shalatmu itu selalu seperti itu?”
“Demikianlah shalatku semenjak 30 tahun yang lalu,” jawab Hatim.
Ashim pun menangis terisak-isak dan berkata, “Aku belum pernah shalat seperti itu, selamanya. Terima kasih, kamu telah mengajariku tentang shalat.”
Setelah itu, dua insan itu pun berpisah. Hatim pergi ke arah Barat, sementara Ashim pergi ke arah timur. Satu hal yang Ashim peroleh dari perkataan Hatim, yaitu pelajaran yang sangat berharga tentang shalat dan alam gaib. Keduanya memang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Percaya Hal Gaib
Penggalan kisah pendek ini mengingatkan kita bahwa shalat ternyata bukanlah sekadar ritual yang dijabarkan dalam bentuk aktivitas ragawi. Lebih dari itu, shalat juga mengajarkan tentang alam gaib. Sebab, dalam shalat kita diajarkan agar benar-benar menghadap Allah. Seperti konsep ihsan, kata Nabi, “Kamu harus beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya meskipun kamu tidak melihat-Nya, padahal Allah melihatmu.”
Inilah yang diajarkan Nabi kepada umat Islam. Bentuk percaya atau iman pada hal yang gaib merupakan ciri atau tanda orang bertakwa. Al-Quran menyebutnya, “al-ladziina yu’minuuna bil-ghaibi”, yaitu orang-orang yang percaya pada yang gaib. Inilah bahtera pertama orang bertakwa yang disebut dalam ayat ini. Iman adalah pembenaran secara pasti yang dibarengi dengan ketaatan dan penyerahan jiwa. Menurut syara’, orang yang beriman adalah orang meyakini dengan sepenuh hati, mengakui dengan lisan, dan mengerjakannya dengan amal perbuatan.
Selanjutnya, kata al-ghaib berarti segala sesuatu yang tidak diketahui oleh manusia. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ini. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menyebutkan bahwa kata al-ghaib berarti sesuatu yang datang dari Allah. Abu Ja’far an-Nuhas berpendapat bahwa kata al-ghaib dalam ayat ini adalah al-Quran. Hal ini didasarkan pada sebab turunnya ayat ini, yaitu ketika Kaum Yahudi masih ragu tentang keberadaan al-Quran sebagai Kitab Suci. Sehingga, percaya pada al-Quran merupakan sindiran untuk mereka.
Sedangkan Ismail Haqqi al-Buruswi dalam Tafsir Ruhul Bayan, berpandangan bahwa kata al-ghaib mengandung arti sangat luas. Gaib berarti sulit diketahui keberadaannya oleh pancaindra dan akal manusia. Pancaindra tidak dapat menemukan secara tiba-tiba. Perkara gaib terbagi dua. Pertama, gaib yang tidak mempunyai dalil (indikasi), sebagaimana disyaratkan oleh Allah dalam QS. al-An’am: 59. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib.”
Kedua, gaib yang mempunyai dalil, seperti adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, kenabian, dan hal-hal yang berkaitan dengan kiamat, baik soal kebangkitan manusia, berkumpulnya manusia di padang mahsyar, maupun soal hisab dan pembalasan amal baik dan buruk. Begitu juga soal surga, neraka, jin, setan, maupun malaikat. Kesemuanya adalah perkara gaib yang harus dipercayai keberadaannya.
Quraish Shihab juga sependapat dengan penafsiran ini. Ia berpandangan bahwa hal yang gaib bagi manusia itu beragam sesuai dengan tingkatannya. Namun, yang dimaksud dalam ayat ini adalah hal gaib yang diinformasikan oleh al-Quran dan Sunnah. Selanjutnya, hal yang gaib itu ada dua macam, yaitu gaib yang mutlak, yang tidak dapat terungkap sama sekali dan ada juga gaib yang bersifat relatif. Nah, perkara gaib yang bersifat relatif inilah yang bisa manusia rasakan.
Namun, bagi Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, dalam kitab tafsirnya, menyebutkan bahwa kegaiban bersifat tak diketahui sama sekali. Kegaiban adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak lain, termasuk oleh bangsa jin sendiri. Jika ada seorang dukun mengetahui siapa yang mencuri barang dengan menggunakan perangkat jin, maka itu juga bukan dinamakan mengetahui yang gaib.
Jika ada ilmuan sanggup menyingkap rahasia-rahasia alam, maka itu juga tidak disebut mengetahui yang gaib. Sebab, mereka menemukan yang sudah ada dengan beberapa pendahuluan atau penelitian, yang akhirnya memperoleh suatu kesimpulan. Hal yang gaib, kata dia, adalah sesuatu yang tanpa pendahuluan dan pengetahuan. Seseorang, dalam hal ini, tidak mungkin sampai bisa ke arah sana, sekalipun ia adalah malaikat (lihat QS. al-Baqarah: 31-32).
Sebab itu, jin maupun malaikat juga tidak tahu perkara yang gaib. Ketika Nabi Sulaiman wafat, misalnya, para jin tidak mengetahui hal itu. Mereka bisa tahu bahwa Sulaiman telah meninggal dunia setelah ia roboh karena tongkatnya dimakan ulat (lihat QS. al-Saba: 14). Itu artinya bahwa mereka juga tidak tahu perkara yang gaib.
Dalam hal ini, masih menurut Sya’rawi, perkara gaib adalah sesuatu yang hanya Allah saja yang tahu. Tidak ada makhluk yang Dia beritahu soal ini, kecuali para Rasul yang Dia kehendaki. “Allah saja yang mengetahui hal yang gaib, dan Dia tidak membertahukan gaib itu kepada siapapun. Kecuali kepada para Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakang” (QS. Jin: 26-27)
Namun begitu, ketidakmampuan manusia untuk menyaksikan perkara gaib bukan berarti hal itu tidak ada. Sebab, hanya alat penglihatan atau mata manusia saja yang tidak mampu melihatnya, karena keterbatasan. Sama seperti halnya ketika kita mengakui bahwa kuman itu memang ada, meskipun kita tidak sangup melihatnya dengan kasat mata. Karena bagaimana pun juga, mata memiliki keterbatasannya sendiri.
Sementara itu, jika mengacu pada QS. al-Baqarah: 14, yang disebut gaib adalah kalbu atau hati. Karena kalbu itu tertutup, maka ia tergolong hal yang gaib. Hati seseorang tak ada yang bisa mengetahuinya, kecuali ia dan Allah semata. Karena itu, hati juga disebut perkara gaib. Itulah sebabnya kita juga selalu memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan ketetapan hati dalam kondisi iman dan takwa.
Dari sudut pandang lain, kegaiban juga terbagi dua, yaitu kegaiban pihak lain kepada manusia dan kegaiban manusia kepada pihak lain. Adapun pihak lain yang gaib kepada manusia adalah alam arwah. Roh itu ada ketika manusia ada di alam roh. Roh itu gaib lantaran manusia masih bergantung pada penuntun dan ia melihat dengan indera yang lima, yang berasal dari alam jasad (tubuh kasar).
Adapun kegaiban manusia pada pihak lain adalah kegaiban yang benar-benar gaib, yaitu Rabb yang wujud-Nya tidak bisa dilihat oleh manusia. Kata al-ghaib yang didahului dengan kata sambung bil (pada) mengandung arti pengakuan. Dan terkadang pula berarti kepercayaan penuh, dan orang-orang yang percaya tentu memiliki rasa aman dan tenteram.
Lantas, apa faidahnya jika kita percaya pada perkara gaib? Dalam hal ini tentu saja akan berdampak pada nilai ketakwaan seseorang. Sebab, jika ia mempercayai hal yang gaib, ia akan semakin takwa kepada Allah. Bahkan, mempercayai perkara yang gaib inilah yang akan menjadi landasan dasar untuk meningkatkan ketakwaan seseorang kepada Allah swt. Ahmad Mustafa al-Maraghi, dalam kitab tafsirnya, berkesimpulan bahwa orang yang beriman kepada hal yang gaib sangat mudah membenarkan adanya pencipta langit dan bumi serta seisinya.
Sebab dengan begitu, ia akan semakin taat dalam menjalankan ibadah dan amal saleh. Di samping itu, percaya pada perkara gaib juga bisa mengantarkan manusia dari persimpangan jalan untuk mengangkat martabat manusia dari dunia binatang. Hal ini ditegaskan Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran. Sayangnya, kata dia, golongan materialis di zaman ini ingin mengambalikan manusia ke titik terendah, yaitu ke dunia binatang, yang keberadaannya tidak lain hanya untuk sesuatu yang dapat dicapai oleh pancaindra saja. Mereka mengatasnamakan itu semua sebagai kemajuan.
Lebih dari pada itu, percaya pada hal gaib ternyata bisa beriimplikasi pada amal saleh seseorang. Apa yang dirasakan Hatim seperti dalam kisah di atas adalah contohnya. Kepercayaan yang tinggi pada perkara gaib membawanya pada derajat ketakwaan yang tinggi. Ia menjalankan shalatnya dengan penuh sungguh-sungguh dan serasa berada di tengah alam gaib, yang disaksikan oleh Allah, malaikat maut, berdiri di atas shirath al-mustaqim, serta dikelilingi surga dan neraka.

Menunaikan Shalat
Kondisi shalat seperti inilah yang disinyalir Sayyid Quthb akan mengantarkan manusia pada kehidupan lebih tinggi di dunia ini. Ia akan menjadi pribadi yang lebih mulia ketimbang makhluk Allah lainnya. Sebab, shalat seperti itu akan menjadi kekuatan dalam hidupnya, sehingga ia tidak mudah gelisah dan panik dalam menghadapi segala persoalan hidup. Ia akan memiliki persepsi, perasaan, dan perilaku Rabbaniyah, yaitu orang yang selalu disertai bimbingan ketuhanan.
Inilah bahtera kedua orang yang bertakwa, “yuqiimuuna as-shalaata”, yaitu “yang mendirikan shalat”. Shalat sangat penting dalam sendi kehidupan. Dalam penggalan ayat ini Allah menyebutkan kata ‘yuqiimuuna’, yang diambil dari akar kata ‘qaama’, yang berarti ‘berdiri’. Lawan dari kata ini adalah bermalas-malasan duduk dan membiarkan sebuah pekerjaan itu.
Dalam menerjemahkan kata ‘qaama’, para ulama memang banyak berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kata ini diambil dari kata yang menggambarkan tertancapnya tiang sehingga ia tegak lurus dan mantap. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu terambil dari kata yang melukiskan pelaksanaan suatu pekerjaan dengan giat dan benar.
Jalaluddin al-Mahalli dan jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain menerjemahkannya dengan “melaksanakannya berdasarkan hak-haknya”. Qurasih Shihab sendiri tidak sepakat jika kata ‘qaama’ dalam konteks ini diterjemahkan dengan istilah ‘mendirikan’. Ia lebih suka menerjemahkannya dengan istilah “melaksanakan shalat secara benar dan berkesinambungan”. Namun begitu, apapun perbedaannya, yang terpenting bahwa ciri kedua takwa ini adalah mengerjakan ibadah shalat secara berkesinambungan dan penuh kesungguhan. Tentunya shalat yang dimaksud adalah shalat yang lima waktu.
Dalam menanggapi soal perintah wajibnya shalat, al-Burusywi membagi empat kelompok. Pertama, orang yang tidak mau menerima perintah shalat. Kelompok orang ini dikepalai oleh Abu Jahal (lihat QS. al-Qiyamah: 31). Kedua, kelompok orang yang menerima shalat tapi tidak mau mengerjakannya. Mereka adalah ahli kitab (lihat QS. Maryam: 59). Ketiga, kelompok orang yang kadang-kadang mengerjakan shalat, tapi kadang juga tidak. Mereka melaksanakannya dengan penuh kemalasan. Mereka adalah golongan munafiq (lihat QS. an-Nisa: 142). Keempat, kelompok orang yang menerima dan mengerjakan shalat tepat waktu dan menjaga syarat-syaratnya. Kelompok seperti ini dicontohkan oleh Nabi sendiri.
Bagi al-Maragi, menunaikan shalat dalam penggalan ayat ini tidak sekedar sebatas menjalankannya saja secara berkesinambungan. Shalat haruslah dikerjakan dengan penuh kekhusyukan dalam setiap bagian-bagian gerakan shalat. Selain itu, hati tertuju pada Allah swt, seakan-akan Dia melihatnya.
Lebih dari pada itu, ada beberapa catatan penting soal shalat. Pertama, shalat haruslah dapat mencegah seseorang dari perbuatan yang keji dan munkar (lihat QS. al-Ankabut: 45). Kedua, shalat haruslah dilakukan tepat waktu (lihat QS. an-Nisa: 103). Ketiga, shalat hendaknya dilakukan secara berjamaah (lihat QS. al-Baqarah: 40). Keempat, ini yang terpenting, yaitu shalat haruslah dilakukan dengan penuh kekhusukan (lihat QS. al-Mukminun: 2).
Kondisi khusuk yang sempurna terletak pada saat seseorang sujud dalam shalatnya. Sujud merupakan puncak pernyataan kerendahan dan kehinaan diri yang menjadi bagian dari perilaku shalat. Dengan sujud, manusia akan terputus keterikatannya pada dunia yang rendah, dan akan meningkat ke alam ruhaniah yang tinggi. Ia akan meninggalkan martabat kemanusiaan, kebinatangan dan tumbuh-tumbuhan, yang diwujudkan dalam pernyataan penuh pengabdian, menghilangkan sikap egoisme kemanusiaan, serta berupaya sungguh-sungguh untuk memperoleh anugerah Allah.

Menafkahkan Sebagian Rezeki
Setelah seseorang memperoleh anugerah Allah, maka haruslah menafkahkannya di jalan Allah. Ibnu Abi Hatim menafsirkan penggalan ayat “mimmaa razaqnaahum yunfiquun” dengan “mengeluarkan zakat penuh kepasrahan”. Senada dengan penafsiran ini adalah Ibnu Katsir. Ia menafsirkannya sebagai zakat wajib. Inilah bahtera ketiga orang bertakwa, yaitu mengeluarkan zakat dari rezeki yang ia miliki.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya pada harta itu terdapat kewajiban selain zakat.” (HR. at-Tirmizi) Namun, bagi al-Maragi, penggalan ayat ini tidak harus selalu dikaitkan dengan mengeluarkan zakat. Kata ‘ar-rizqu’ menurut bahasa adalah pemberian. Kemudian, kata ini banyak dipakai untuk pengertian barang-barang yang dimanfaatkan oleh hewan dan manusia. Semua yang bisa dimanfaatkan (dikonsumsi) adalah rezeki.
Sedangkan kata ‘infaq’ mencakup nafkah wajib, yaitu pemberian nafkah seorang suami kepada isteri dan anak-anaknya. Di samping itu, menafkahkan sebagian harta juga mencakup sedekah yang bersifat sunah. Dengan kata lain, penggalan ayat tersebut mengandung arti bahwa ciri atau sifat orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa menafkahkan sebagian hartanya kepada keluarga maupun orang lain.
Berbeda halnya dengan penafsiran Sya’rawi. Ia tidak sependapat jika berbicara soal rezeki hanya selalu dikaitkan dengan yang berhubungan harta atau materi. Anggapan ini, menurutnya, adalah salah. Rezeki adalah segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Kekuatan termasuk rezeki, ilmu adalah rezeki, hikmah adalah rezeki, dan rendah hati juga rezeki. Pendek kata, semua yang mengandung gerakan yang bermanfaat dalam hidup ini adalah rezeki.
Jika seseorang tidak mempunyai harta untuk diinfakkan, tapi punya kesehatan, maka kesehatan itu bisa digunakan untuk menolong orang lain. Jika seseorang memiliki budi pekerti yang baik, bisa digunakan dengan cara menolong orang lain dari segala musibah yang menimpanya. Begitu juga jika seseorang hanya memiliki ilmu tapi tidak memiliki harta, bisa menafkahkan kemampuannya untuk kemaslahatan umat dengan cara memberi nasihat dan saran.
Hal ini seperti apa yang diutarakan oleh Nabi, “Ilmu yang tidak dipelajari, bagaikan gudang harta yang tidak dibelanjakan.” Artinya, ilmu juga bisa diartikan sebagai rezeki. Upaya untuk menginfakkan itu memang tidak selalu bernuansa materi. Apapun yang dimiliki, selama itu bisa berguna untuk orang lain, maka ia bisa menginfakkannya untuk di jalan Allah.
Pendek kata, sebagian ulama ahli hukum menafsirkan kata infak ditinjau dari segi harta kekayaan, sedangkan ulama ahli hakikat menafsirkannya berdasarkan kondisi pemilik yang wajib zakat. Artinya, infak orang kaya dengan hartanya. Infak para abidin (hamba yang tidak kaya harta) dengan kalbunya. Infak orang–orang kaya dengan mengeluarkan harta dari kantongnya, dan infak orang-orang fakir dengan menumbuhkan semangat dalam kalbunya. Yang jelas, menjadi orang yang bertakwa itu ternyata mudah. Nah, ketiga sifat ini merupakan bahtera orang yang bertakwa, yaitu percaya pada hal gaib, menunaikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezekinya. Masih ada beberapa lagi ciri dari sifat orang yang bertakwa. Itu akan kita bahas di edisi berikutnya, dan masih dalam kelanjutan ayat ini. Insya Allah..!

Tidak ada komentar: