Mei 22, 2008

Tafsir QS. al-Fatihah: 5

Jalan Lurus, Jalan Menuju Tuhan
Oleh: Uup Gufron
----
Kita sering mengeluh, apakah jalan hidup kita sudah lurus atau justru berkelok-kelok. Kalau berkelok, terus lurus, mungkin tak mengapa. Tapi, jika jalannya justru berkelok-kelok terus, mana bisa kita sampai pada tujuan. Nah, mungkin kita perlu membaca doa ini. “Ihdina as-Shirath al-mustaqim” [Tunjukanlah kami jalan yang lurus] (QS. al-Fatihah: 5)
----
Pepatah populer ini mungkin sering kita dengar, “Malu bertanya, sesat di jalan.” Artinya, jika kita malu bertanya kepada orang tentang ketidaktahuan kita, maka itu indikasi yang bisa mengarah pada kesesatan. Ujung-ujungnya, kita bisa tersesat di jalan. Karena itu, pepatah ini kemudian dikenal sebagai nasihat kepada orang yang sedang bepergian agar tidak malu bertanya jika ia lupa atau tidak tahu arah menuju tempat yang dituju.

Memang, tak semua orang bisa sampai pada tujuan dengan cepat dan tepat dalam sebuah perjalanan, apalagi bagi orang yang jarang bepergian. Semua perlu adanya bimbingan dan arahan. Tidak saja dalam soal aktivitas pekerjaan, tapi juga pada segala hal dalam hidup ini. Karena itu, semuanya harus dipasrahkan pada segenap pemilik aktivitas. Ia tak lain adalah Allah, yaitu dzat penggerak ruang, waktu, dan seluruh isi di dunia ini.

Begitu juga dalam hidup ini. Manusia, sebagai makhluk yang dianugerahi nafsu oleh Allah, tentunya tak akan luput dari kesalahan. Setiap saat manusia bisa tergelincir ke jurang nista dan dosa. Namun begitu, manusia juga deberi hati dan pikiran, sebagai filter untuk memilih mana yang baik dan yang buruk untuk dikerjakan. Karena itu, manusia butuh petunjuk ilahiyah. Petunjuk itu yang akan membawa manusia pada kebahagiaan hidup yang hakiki.

Dalam Islam, petunjuk atau bimbingan dikenal dengan istilah hidayah. Hidayah adalah petunjuk Allah terhadap makhluknya tentang sesuatu yang mengandung kebenaran atau sesuatu yang berharga dan membawa keselamatan di dunia maupun di akhirat. Hidayah bersinonim dengan kata dalalah dan irsyad, yang berarti petunjuk dan bimbingan.

Menurut Ragib al-Isfahani, istilah hidayah biasa dipakai dalam pengertian petunjuk yang diberikan secara lunak dan lembut. Itu sebabnya ketika seseorang memperoleh hidayah, ia seakan tidak merasa, karena ia datang begitu lembut dan seketika. Hidayah pun memiliki tingkatan masing-masing, sesuai dengan tingkat keimanannya. Sehingga, hidayah yang diberikan pun memiliki kwalitas yang berbeda.

Ini tentu berbeda dengan makna petunjuk yang ada dalam pepatah di atas. Dalam pepatah itu kita dianjurkan untuk bertanya agar memperoleh petunjuk jalan. Petunjuk jalan yang diperoleh, tentu bisa salah dan bisa pula benar. Sementara hidayah dalam konteks ini sudah tentu selalu benar, karena ia datang dari Allah.

Ibnu Kasir dalam kitab tasfsirnya berpendapat bahwa hidayah yang tercantum dalam al-Quran memiliki arti penjelasan, petunjuk, dan taufiq. Hidayah dengan makna penjelasan mengacu kepada dua hal, yaitu menjelaskan sesuatu yang membawa kepada kebenaran dan menjelaskan sesuatu yang membawa kepada kesesatan. Mungkin, penjelasan Ibnu Kasir ini lebih diarahkan pada makna hidayah dari segi bahasa yang bersifat umum.

Pasalnya, kata ‘hidayah’ berasal dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf, yaitu 'Ha, Dal, dan Ya'. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu ‘tampil di depan memberi petunjuk’ dan ‘menyampaikan dengan lemah lembut’. Namun begitu, secara khusus, makna ‘hidayah’ diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada kebaikan. Karena itu, seorang muslim haruslah memohon agar diberi petunjuk menuju kebaikan.

Hidayah Sebagai Kebutuhan Hidup
Mustafa al-Maragi
, seorang mufasir kontemporer asal Mesir juga berpendapat sama bahwa hidayah yang ditujukan kepada manusia dibagi pada dua bentuk, yaitu al-hidayah al-ammah (hidayah yang umum) dan al-hidayah al-khashah (hidayah yang khusus). Bedanya, umum dan khususnya hidayah versi al-Maragi lebih diarahkan pada orang atau objek yang diberi hidayah itu sendiri.

Hidayah umum adalah hidayah yang diberikan Allah kepada segenap manusia untuk dijadikan sebagai petunjuk dalam hidupnya. Hidayah berfungsi sebagai filter dalam menjalani hidup di muka bumi. Setidaknya ada empat jenis hidayah bila dikaji secara umum.

Pertama, yaitu 'hidayah al-ilhamiah' (petunjuk ilham). Hidayah ini berupa insting atau pembawaan asli sejak manusia dilahirkan. Manusia sudah diberi hidayah untuk melakukan apa saja sesuai dengan naluri dan instingnya. Jika ia lapar, maka ia akan makan. Jika ia lelah, maka ia akan istirahat. Jika ia terluka, maka ia akan menangis. Begitulah seterusnya. Hidayah dalam bentuk ini tidak saja diberikan kepada manusia, karena Allah juga melimpahkan hidayah seperti ini kepada semua jenis binatang.

Kedua, yaitu 'hidayah al-hawasiah' (petunjuk panca indra). Hidayah ini berupa lima indra yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Lima indra itu adalah pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan indrawi, dan perabaan.
Semuanya diberikan oleh Allah untuk kebutuhan hidup manusia agar bisa hidup dengan tentram dan tenang. Itulah sebabnya, manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna (lihat QS. at-Tin: 4). Bila dibandingkan dengan makhluk yang lain, manusia tentu lebih unggul. Ia memiliki penampakan fisik yang sangat sempurna.

Ketiga, yaitu 'hidayah al-‘aqliah' (petunjuk akal). Hidayah ini digunakan sebagai petunjuk umat manusia agar dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Sebab, akal adalah bagian penting dalam diri manusia, yang bisa membedakan antara dia dengan makhluk Allah lainnya. Kemampuan akal bisa menghantarkan manusia kepada Allah. Begitu juga sebaliknya, yaitu akal dapat menjatuhkan kwalitas iman seseorang kepada Allah swt.

Keempat, yaitu 'hidayah ad-diniyah' (petunjuk agama). Hidayah ini berupa wahyu yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pedoman hidup guna mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Wahyu itu kemudian berbentuk kitab suci yang wajib diyakini. Nah, jenis hidayah ini merupakan hidayah yang tertinggi di mata Allah swt.

Sementara itu, hidayah khusus adalah hidayah yang diberikan kepada orang tertentu saja, yang mengantarkannya kepada kebenaran sejati dan keselamatan dalam hidup. Hidayah yang seperti ini hanya akan diberikan kepada orang spesial saja, yaitu orang yang benar-benar layak diberi hidayah oleh Allah swt, dan hanya Dia yang lebih tahu. Dalam hal ini, al-Maragi sepertinya mengklasifikasikan hidayah dalam konteks tingkat drajat ketakwaan.

Karena itu, dalam setiap shalat kita selalu memohon petunjuk kepada Allah swt. Kita memohon agar kita diberi petunjuk atau hidayah dalam hidup ini. Soalnya, setiap saat kita bisa saja tersesat dalam memfungsikan setiap hidayah yang diberikan oleh Allah.

Maka, doa yang kita panjatkan adalah “tunjukanlah kami jalan yang lurus” (Ihdina as-Shirat al-Mustaqim). Sebab, hidayah begitu penting dalam hidup ini. Tanpa hidayah, manusia seperti makhluk yang tak memiliki arah tujuan dalam hidup.

Meniti Jalan Kebaikan
Dalam setiap hari setidaknya kita diwajibkan membaca Surat al-Fatihah 17 kali, karena ada 17 rakaat dalam shalat lima waktu. Itu artinya bahwa meminta petunjuk kepada Allah hukumnya bersifat wajib. Kita wajib meminta hidayah-Nya agar diarahkan menuju jalan kebenaran. Petunjuk yang kita pinta, tentunya, adalah petunjuk yang lurus, yaitu petunjuk yang mengarah pada kebaikan.

Kalimat 'Ihdina' (berikanlah kami petunjuk) mengandung arti kerendahdirian seorang hamba di hadapan Allah swt, yang memiliki segala kekuatan di muka bumi. Ini pula yang disinyalir Ibnu Kasir bahwa manusia adalah makhluk lemah. Jika pada ayat sebelumnya, yaitu al-Fatihah: 4, kita merendah dengan pengabdian dan permohonan, maka pada ayat ke-5 ini kita pun pasrah dengan penuh kepasrahan.

Kepasrahan pada ayat ke-4, yaitu "iyyaka na’budu waiyyaka nastain", adalah kepasrahan karena kita hendak meminta pertolongan. Logikanya, jika kita meminta sesuatu, maka kita harus mendekat dulu, yaitu dengan cara beribadah kepada-Nya. Tapi, pada ayat ke-5 ini, kita meminta petunjuk untuk masa sekarang dan yang akan datang. Sebab, apa yang kita pinta bersifat kekal dan abadi, yaitu as-Shirat al-Mustaqim.

"As-Shirath al-Mustaqim", menurut Ibnu Kasir, adalah agama Islam. Artinya, setiap manusia harus kembali pada Islam. Sebab, manusia butuh kembali ke jalan Allah, manakala ia sudah jauh dari aturan Allah. Tak heran, jika kemudian kita sering menjumpai kata ‘hidayah’ ditujukan bagi orang yang sudah terjerumus ke lembah dosa dan maksiat. “Semoga Allah membukakan pintu hidayah kepadamu,” begitu biasanya kalimat sering diucapkan.

Kata ‘hidayah’ juga sering dikonotasi kepada orang yang tidak atau belum memeluk agama Islam. Sehingga, mereka bisa dibilang belum memperoleh hidayah dari Allah swt. Ketika mereka kemudian tertarik dan akhirnya memeluk agama Islam, maka mereka telah memperoleh hidayah Allah.

Fungsi hidayah adalah menerangi kegelapan hidup manusia. Manakala ia belum memperoleh hidayah, maka ia masih berada dalam kegelapan hidup. Hidayah memang laksana lampu. Ia bisa menerangi siapa saja yang berada dalam kegelapan hidup. Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa Allah adalah Cahaya. Dan Cahaya Allah tidak akan dilimpahkan (dihidayahkan) kepada orang yang selalu berbuat maksiat. Artinya, jika seseorang sudah terlalu larut dalam kegelapan hidup, maka hidayah akan sulit diterima.

Tapi sebaliknya, jika ia mencoba mendekat kepada Allah, dan ia tahu bahwa Allah itu selalu mengawasinya, maka Allah pun akan mudah melimpahkan hidayah-Nya kepada orang tersebut. Seperti kata Sam Bimbo dalam sebuah lirik lagunya, “Aku jauh, Engkau Jauh. Aku dekat, Engkau dekat. Hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa berpadu.”

Sementara itu, M. Qurais Shihab memaknai as-Shirat al-Mustaqim dalam Surat al-Fatihah sebagai jalan apa saja yang bisa mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia tidak membatasi makna istilah itu pada agama. Sebab, segala sesuatu yang mengarah pada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, adalah jalan yang bisa menghantarkannya kepada Allah.

Itu sebabnya, harta pun bisa dijadikan permohonan dalam doa. Harta juga bisa menjadi petunjuk dalam hidup. Tentunya, harta itu halal dan digunakan untuk kemaslahatan (kebaikan), dan bukan untuk kezaliman (kesesatan). Begitu juga dengan yang lainnya seperti ilmu pengetahuan, kesehatan, maupun kekuasaan.

Ilmu pengetahuan bisa dijadikan sebagai as-Shirat al-Mustaqim jika ilmu yang ia peroleh itu untuk mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Kecanggihan ilmu pengetahuan juga bisa dijadikan modal untuk selalu dekat kepada Allah. Jika demikian, maka ilmu pengetahuan pun bisa berfungsi sebagai petunjuk atau hidayah.

Sama halnya dengan kesehatan dan kekuasaan. Kedua hal ini juga merupakan petunjuk (hidayah) yang bisa diminta kepada Allah. Tanpa sehat, manusia tentu tak mampu beribadah. Sedangkan kekuasan adalah sarana, yaitu alat untuk beribadah kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan Surat Yasin: 61, “Dan beribadahlah kepada-Ku, inilah shirath al-mustaqim.

Ibadah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ibadah apa saja yang bisa mengantarkan manusia pada Allah, sehingga ia semakin dekat kepada-Nya. Dalam al-Quran, istilah as-Shirat al-Mustaqim dijelaskan secara jelas pada tiga ayat, yaitu QS. Maryam: 43, QS. az-Zukhruf: 61, dan QS. al-Fatihah: 7.

Dalam QS. Maryam: 43, misalnya, disebutkan, “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukan kepadamu as-Shirath al-Mustaqim.” Ayat ini menjelaskan saat Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk mengikuti jalannya menuju Allah swt.

Begitu juga pada QS. az-Zukhruf: 61. Dalam ayat itu disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw mengajak kaum Quraisy untuk masuk Islam, karena itu adalah as-Shirath al-Mustaqim. Dan, pada ayat ke-7 QS. al-Fatihah juga dijelaskan secara gamblang bahwa as-Shirath al-Mustaqim adalah jalan orang-orang yang telah diberi kenikmatan.

Nah, orang yang telah menempuh jalan lurus (as-Shirath al-Mustaqim) adalah orang yang menjalankan cara hidup yang digambarkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Cara hidup mereka merupakan gaya hidup yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki di dunia maupun di akhirat.

Persoalannya, perlukah kita selalu memohon untuk selalu diberi hidayah atau petunjuk menuju jalan yang lurus? Jawabnya adalah harus. Kenapa? Karena manusia setiap saat bisa saja tergelincir kembali pada jalan kesesatan, meskipun ia telah diberi hidayah sebelumnya. Karena pada dasarnya, iman bersifat statis. Kadang pasang, kadang pulang surut.

Sebab itu, kita diwajibkan membaca al-Fatihah dalam shalat setiap hari. Membaca Surat al-Fatihah merupakan rukun shalat, yang artinya itu adalah keharusan untuk mencapai nilai sahnya shalat seseorang. Jika kalimat Ihdina as-Shirath al-Mustaqim dipahami secara mendalam dan pernuh penghayatan, maka kita tentu lebih bisa memahami setiap langkah hidup yang kita jalani.

Di tengah keterpurukan hidup bermasyarakat ini, sebuah doa yang kita panjatkan dalam setiap shalat tentu dapat merepresentasikan setiap cita-cita hidup yang kita inginkan. Hidayah merupakan gunung emas sebuah keinginan manusia. Pasalnya, dalam hidayah ada banyak hal yang bisa kita raih. Tanpa itu, kita mustahil bisa meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Karena itu, ketika kita shalat, dan di saat kita membaca Ihdina as-Shirath al-Mustaqim, sebaiknya dilakukan dengan penuh khusu’ dan khidmat. Sebab, di dalam hidayah ada banyak kenikmatan yang Allah janjikan. Dan, kenikmatan itu telah Allah gambarkan pada ayat sesudahnya, yaitu alladzi an’amta ‘alaihim, ghoiril maghdhubi ‘alaihim waladzallin, “yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan kenikmatan kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. Wallahu a’lam, hanya Allah yang lebih tahu!

Tidak ada komentar: