Juni 21, 2008

Tafsir QS. al-Fatihah: 7

Menapaki Jalan Hidup Kaum Saleh

------
“Shirath al-ladzina an’amta ‘alaihim, ghoir al-maghdhubi ‘alaihim wala al-dhaalliin”
[(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat]
(QS. al-Fatihah: 7)
------

Jika pada tafsir sebelumnya kita sedikit membahas soal "as-shirath al-mustaqim" (jalan lurus), maka ayat ini, yaitu ayat ke-7 dari Surat al-Fatihah, adalah kelanjutan dari maksud yang terkandung dalam ayat ke-6. Dalam ayat itu disebutkan bahwa kita meminta petunjuk atau hidayah dari Allah agar dapat menuju jalan lurus, yaitu jalan menuju keselamatan, Ihdina as-shirath al-mustaqim (tunjukanlah kami jalan yang lurus). Maka, di ayat terakhir al-Fatihah ini akan dipaparkan apa yang dimaksud dengan jalan keselamatan itu?

Jalan keselamatan adalah jalan orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Kenikmatan adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri manusia. Dalam beberapa kamus dijelaskan bahwa secara umum kenikmatan dapat diartikan sebagai pikiran yang puas; sensasi atau emosi yang serasi; perasaan yang dihasilkan oleh suka cita atau pengharapan akan kebaikan. Jadi, kenikmatan adalah kondisi ideal yang diharapkan manusia. Kondisi di mana manusia berbahagia dan bisa menikmati hidupnya.

Namun, kenikmatan yang dimaksud dalam ayat ini jauh lebih luas dari makna umum yang terkandung dalam banyak kamus. Sebab, makna kenikmatan di sini lebih identik dengan rahmat Allah swt. Rahmat adalah kasih sayang Allah yang dilimpahkan kepada hambanya yang dikasihi sehingga ia merasa tenteram dekat dengan-Nya. Kenikmatan itu nilainya tak terhingga. Sampai kapan pun manusia tidak akan bisa menghitung jumlah kenikmatan yang diberikan Allah (lihat QS. Ibrahim: 34).

Kenikmatan hidup itu bermacam-macam, bahkan memiliki tingkatan sendiri-sendiri. Kenikmatan yang terkandung dalam ayat ini, kata Quraisy Shihab, adalah kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada umat manusia berupa hidayah. Hidayah dapat membedakan antara yang benar dan salah. Itulah sebabnya hidayah sebagai kenikmatan Allah yang tak terhingga. Kenapa? Karena hidayah dapat memberikan keselamatan kepada manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Jika kita diberi kenikmatan berupa kesehatan, maka suatu saat kesehatan bisa saja hilang. Kita bisa saja sakit. Bila kita diberi kenikmatan berupa rumah megah, mobil mewah, dan perhiasan berlimpah, maka itu semua bisa saja hilang seketika. Dan apabila kita dikaruniai anak yang lucu, cantik, dan menggemaskan, maka itu pun bisa hilang di hadapan mata kita. Maka, kenikmatan seperti ini tak bersifat permanen.

Dalam al-Quran, kata ni’mat mengandung banyak arti dan makna. Adakalanya, kata ni’mat dikonotasikan dengan kesenangan inderawi. Ada kalanya dikonotasikan dengan kesenangan hawa nafsu. Namun, ada juga kenikmatan itu berarti tuntunan agama Islam. Seorang mukmin yang memiliki ketaatan tinggi berarti telah memperoleh kenikmatan tinggi. Kenikmatan itu berupa implimentasi iman dan ketakwaan (lihat QS. Ali Imran: 103 dan QS. ad-Dhuha: 11). Maka, balasannya tak lain adalah surga yang abadi.

Tiga Golongan Kaum Saleh
Menurut Ibnu Katsir, kenikmatan yang terkandung dalam ayat ini berhubungan dengan QS. an-Nisa: 69, “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” Ayat ini secara jelas mengungkapkan bahwa ada empat golongan orang yang diberi kenikmatan, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin.

Jadi, “shirath al-ladzina an’amta ‘alaihim” adalah ungkapan yang sengaja ditujukan kepada kita bahwa jalan keselamatan itu adalah jalan hidup yang ditempuh oleh para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah kelompok orang-orang saleh yang senantiasa diberi kenikmatan berupa hidayah dari Allah. Karenanya, cara hidup yang ditempuh oleh empat kelompok ini dijadikan contoh sebagai gaya hidup yang bisa mengantarkan kepada keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Kelompok para nabi, yang pertama misalnya, adalah kelompok pilihan Allah. Mereka secara langsung dibimbing oleh Allah. Mereka memiliki sifat jujur, amanah, sabar, istiqamah, dan suka menyampaikan kebenaran. Mereka tidak mudah menyerah menghadapi cobaan apapun untuk menuntun umat manusia agar berada di jalan yang benar. Jalan hidup seperti inilah yang Allah maksud sebagai jalan hidup menuju keselamatan.

Umumnya para nabi itu hidup dalam tekanan. Mereka ditekan dan diintimidasi di tengah masyarakat. Nabi Musa, misalnya, mengalami intimidasi dari Raja Fir’aun. Nabi Ibrahim dimusuhi oleh Raja Namrud. Bahkan, Nabi Muhammad pun, mendapatkan rongrongan dari Kaum Quraisy di Kota Makkah, hingga akhirnya hijrah ke Kota Madinah. Namun begitu, mereka tidak gentar menghadapi berbagai tekanan kejiwaan dan sosial itu. Sebab, mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebenaran dari Allah swt.

Yang kedua adalah kelompok shiddiqin, yaitu orang yang selalu memegang teguh kebenaran dan kejujuran. Kelompok ini memang tidak secara langsung dibimbing oleh Allah. Namun, mereka memiliki keteguhan iman sehingga mampu menjaga komitmen mereka dalam memerangi kebatilan di sekitar mereka tanpa terpengaruh oleh kondisi dan situasi apapun. Orang seperti ini adalah orang yang memiliki gaya hidup mulia. Mereka pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan.

Kelompok yang ketiga adalah syuhada, yaitu orang-orang yang meninggal dalam keadaan syahid. Mereka mengorbankan jiwa dan raga untuk keagungan agama Islam. Quraisy Shihab mendefiniskan arti syuhada sebagai orang-orang yang bersaksi atas kebenaran dan kebijakan melalui ucapan dan tindakan, meski harus mengorbankan nyawa. Mereka dengan gigih mempertahankan idealisme mereka untuk dapat mengibarkan bendera kebenaran dan runtuhnya bendera kebatilan. Kelompok ini senantiasa istiqamah (konsisten) dalam mempertahankan iman dan taqwa di hadapan Allah swt.

Yang keempat adalah golongan sholihin, yaitu orang-orang yang saleh. Orang saleh adalah orang yang selalu berbuat kebaikan di jalan Allah. Mereka berusaha menjalankan kebaikan dan kebenaran demi mencapai ridha Allah swt. Kalaupun sesekali mereka berbuat salah dan pelanggaran, tapi itu semua tak berarti bila dibandingkan dengan kebaikan yang mereka jalankan. Itulah sebabnya, Allah menjadikan gaya hidup mereka sebagai tamsil (contoh) bagi umat Islam untuk dapat menempuh jalan keselamatan.

Keempat kelompok inilah yang Allah gambarkan sebagai golongan yang diberi kenikmatan. Kenikmatan itu berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Di dunia mereka hidup dengan tenang, dan di akhirat mereka dijanjikan surga yang nikmat. Nah, dalam ayat ini Allah menyuruh kita supaya mengambil contoh dan meneladani gaya hidup mereka. Jika pada ayat ke-6 kita memohon untuk diberi jalan menuju keselamatan, maka pada ayat ke-7 ini kita disuruh untuk meneladani empat golongan itu sebagai acuan untuk menuju keselamatan itu sendiri.

Yang Dimurka dan Sesat
Penggalan ayat berikutnya yaitu “ghoir al-maghdhubi ‘alaihim wala al-dhaalliin”. Artinya, “bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” Penggalan ayat ini merupakan sambungan dari penggalan ayat sebelumnya. Jika pada penggalan pertama kita disuruh untuk meneladani empat kelompok orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah, maka pada penggalan ayat ini justru kebalikannya, yaitu agar kita jangan sampai meniru dua golongan orang ini, yaitu orang yang Allah benci (al-maghdhub) dan orang yang sesat (al-dhaalliin). Siapakah mereka itu?

Kata “maghdhub” diambil dari kata “ghadhab”, yang memiliki keragaman makna dan arti. Namun, dari semua arti itu menunjukan pada sesuatu yang keras, kokoh, dan tegas. Karena itu, kata tersebut bisa diartikan sebagai sikap keras, tegas, kokoh dan sukar digoyahkan. Kata “maghdhub” adalah orang yang ditimpakan perbuatan “ghadhab”, yaitu orang yang ditimpakan emosi atau kemurkaan. Dalam konteks ayat ini, “al-maghdhub” adalah orang yang dimurkai Allah swt.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya secara jelas menafsirkan bahwa orang yang dibenci Allah adalah golongan Yahudi. Penafisran ini ia korelasikan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salamah dari Adi bin Hatim, bahwa suatu hari Nabi menerima sebuah pertanyaan, “Siapakah orang yang dimurkai itu?”. Nabi menjawab, “ Yaitu Kaum Yahudi.” Hadits yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah juga menyebutkan hal yang sama, namun dengan redaksi kalimat yang berbeda.

Sementara itu, Quraisy Shihab berpendapat bahwa kata “al-maghdhub” tidak selalu dikaitkan kepada kaum Yahudi saja. Sebab, kemurkaan Allah tidak selalu tertuju kepada sebuah kebangsaan tertentu. Kalau pun dikaitkan dengan Kaum Yahudi, itu tidak serta merta ditujukan pada kebangsaannya, melainkan kepada perbuatan yang pernah mereka lakukan. Semisal, mereka selalu ingkar kepada kebesaran Allah, membunuh para nabi dan orang mukmin, menyekutukan Allah, dan suka bermaksiat.

Dalam sejarah juga banyak dijumpai orang-orang yang dibenci Allah. Di dunia mereka diberi azab dan di akhirat mereka menerima balasan azab atas apa yang mereka kerjakan. Sebut saja, misalnya, kaum ‘Ad dan Tsamud yang telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka. Begitu juga dengan Fir’aun dan kaumnya yang telah dibinasakan Allah di Laut Merah. Mayat Fir’aun hingga kini masih utuh tersimpan rapih dalam museum di Mesir karena diawetkan dengan balsem.

Kelompok kedua, yaitu al-dhaalliin, adalah orang yang sesat di jalan Allah. Kata “al-dhaalliin” diambil dari kata dhalla, yang berarti “gelap”, atau “meletakkan sesuatu tidak pada tempat yang telah ditentukan”. Kata dhalla, yang merupakan antonim dari kata ‘adil’, berarti mengacu pada pekerjaan penganiayaan kepada orang lain dengan mengambil haknya atau tidak menepati janjinya.

Kata ini bisa pula digunakan sebagai perlakuan dosa, baik dosa besar maupun kecil. Dalam al-Quran tidak kurang ada 190 kali kata “dhalla” dalam berbagai bentuknya. Sementara itu, kata “ad-dhaalliin” disebut sebanyak delapan kali dan “ad-dhaalluun” sebanyak lima kali dalam al-Quran.

Para ahli hikmah membagi istilah tersebut pada tiga golongan, yaitu orang yang sesat terhadap Tuhannya, terhadap sesama manusia, dan terhadap dirinya sendiri. Pembagian ini ditujukan pada objek kesesatan itu sendiri. Sementara itu, ada juga ulama yang membagi istilah sesat pada dua kelompok, yaitu orang yang sesat karena kekufuran dan orang yang sesat karena mengambil hak orang lain.

Orang yang kufur kepada Allah juga digolongkan sebagai orang yang sesat. Di antara bentuk kesesatan itu adalah tidak mengakui keberadaan Allah dan Rasul-Nya. Termasuk, di dalamnya, adalah mengakui adanya seorang nabi setelah Muhammad saw. Maka, tak heran jika sejumlah ulama di Indonesia yang terkumpul dalam MUI memvonis sebuah ajaran yang dibawa oleh seseorang yang mengakui bahwa dirinya adalah seorang nabi.

Sedangkan orang yang suka merampas hak orang lain, juga disebut sesat, karena mereka mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Kata Nabi, “Sesungguhnya saya mengharamkan kesesatan dan saya jadikan ia sesuatu yang terlarang kamu lakukan di antara sesama kamu.” (HR. Muslim)

Muhammad Husain Tabataba’i, ahli tafsir asal Iran, berpendapat bahwa perbuatan sesat tidak saja ditujukan pada bentuk kesesatan kepada Allah. Sikap atau tingkah laku yang bisa mengancam ketentraman dan keselamatan masyarakat, baik yang tertuju pada harta kekayaan maupun diri seseorang, juga dikategorikan sebagai kesesatan. Secara lebih rinci, Imam al-Gazali membagi golongan orang yang sesat pada dua kelompok, yaitu kelompok yang mengakibatkan kemudaratan (keburukan) bagi masyarakat secara umum, dan orang yang dapat mengakibatkan keburukan bagi orang secara khusus.

Umum dan khususnya keburukan yang ditimbulkan dari perbuatan sesat ditentukan sesuai dengan perbuatan itu sendiri. Jika perbuatan itu hingga dapat mengakibatkan kerusakan pada masyarakat secara luas, maka itu dikategorikan sebagai kelompok sesat yang pertama. Tapi, jika perbuatan itu hanya menimpa orang per-orangan saja, maka itu termasuk kelompok yang kedua.

Kata “al-dhaalliin” yang termaktub dalam penggalan ayat ke-7 Surat al-Fatihah ini, masih menurut Ibnu Katsir, adalah kalangan umat Nasrani. Umat Nasrani adalah orang yang sesat di muka bumi ini. Sebab, mereka menyimpangkan ajaran Nabi Isa sesuai dengan kemauan mereka. Allah berfirman, “Orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad saw) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan lurus.” (QS. al-Maidah: 77)

Orang sesat juga bisa diartikan sebagai orang kafir yang ingkar kepada kebesaran Allah (lihat QS. Ali-Imran: 90), orang yang tidak mengenal petunjuk Allah (lihat QS. al-An’am: 77), dan orang yang putus asa dari rahmat Allah (lihat QS. al-Hijr: 56). Pendek kata, orang sesat adalah orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka kian jauh dari jalan keselamatan. Karena itu, kita memohon agar kita dijauhkan dari sikap dan perilaku yang mengarah pada kesesatan.

Surat al-Fatihah, sebagai Induk al-Quran, mengajarkan kita banyak hal. Melalui ayat ini, kita diajarkan untuk memohon kepada Allah agar terhindar dari kemurkaan dan kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul perintah Allah agar kita mengambil pelajaran dari sejarah kaum terdahulu.

Orang yang dimurka (al-maghdhub) dan yang sesat (ad-dhaalliin) adalah orang yang tidak selamat dalam hidupnya. Padahal, kita selalu berharap agar bisa selamat dalam menjalani hidup ini. Tidak saja di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Karenanya, kita selalu berdoa, semoga saja kita bukan termasuk dari dua kelompok itu! Na’udzu billah tsumma na’udzu billah. Amin !