Mei 10, 2008

Tafsir QS. Al-Baqarah: 2

Al-Quran,
Jalan Menuju Derajat Takwa

Oleh: Uup Gufron
-----
Jika ada yang bertanya, kenapa Anda harus percaya pada al-Quran? Maka, jawabnya seperti ini: “Dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin.” Artinya, Al-Kitab itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 2). Logikanya, jika Anda punya petunjuk, Anda tak mungkin tersesat. Iya kan?
-----

Beberapa waktu lalu mungkin kita masih ingat tentang kabar munculnya Nabi baru, yaitu Ahmad Musaddieq. Umat Islam di negeri ini kontan saja tercengang seketika dengan kabar itu. Soalnya, pria itu telah berani mengatakan bahwa risalah Nabi Muhammad itu belum sempurna. Al-Quran yang dibawa Muhammad juga perlu disempurnakan dan masih banyak kekurangan. Maka dari itu, ia kemudian diutus oleh Tuhan sebagai penyempurna al-Quran dan kerasulan Nabi Muhammad.
Belum lama ini kita juga mendengar berita ‘taubat’-nya Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang dilakukan dengan penyampaian butir-butir perjanjian di depan pemerintah. Salah satu butirnya adalah soal kembalinya para pengikut Ahmadiyah pada Kitab al-Quran. Semula, komunitas itu mengakui bahwa Kitab Tadzkirah adalah kitab suci mereka dan Mirza Ghulam Ahmad adalah rasul mereka yang terakhir. Nah, dua hal ini akan menarik jika dikaji lewat kandungan ayat ke-2 Surat al-Baqarah ini. Kayaknya, ayat ini juga diperuntukkan bagi mereka.

Al-Quran Menjawab Keraguan
Ayat ke-2 dari Surat al-Baqarah ini bercerita tentang al-Quran dan fungsinya bagi orang yang bertakwa. Setelah Allah menurunkan ayat berupa tiga huruf hijaiyyah, yaitu alif laam miim, maka kemudian Allah menurunkan kabar yang cukup mengejutkan, yaitu anjuran agar kita jangan ragu pada al-Quran. Di satu sisi, ayat ini juga berupa kecaman kepada orang yang inkar pada kebenaran al-Quran. Maka, Allah berfirman, “Dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin.” Artinya, al-Kitab itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin diwakafkan (berhenti) pada kata raiba, kemudian baru disambung pada kalimat fihi hudan lil-muttaqiin. Tapi, Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan bahwa waqaf yang lebih utama adalah pada laa raiba fiihi, baru kemudian dilanjutkan pada hudan lil-muttaqiin. Dia berargumen bahwa kata hudan merupakan sifat al-kitab yang menyatu dan tak terpisah. Ini lebih baik dari pada menganggap keberadaan al-kitab, yang di dalamnya ada petunjuk (hudan), yang bisa bermakna bahwa dalam al-Quran itu ada petunjuk dan ada juga hal lain.
Kata al-Kitab pada kalimat dzalika al-kitabu laa raiba fiihi hudan lil-muttaqiin adalah isim atau kata benda yang berarti sesuatu yang ditulis seperti ukiran dan angka yang menunjukan arti tertentu. Al-Kitab yang dimaksud di sini adalah al-Quran, yaitu sebagai nama lain dari al-Quran itu sendiri. Sedangkan bentuk isyarat yang diikuti kata al-Kitab, yaitu dzalika (itu) adalah bentuk isyarat bahwa menulis al-Quran itu diperbolehkan di kemudian hari. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Mustafa al-Maragi dalam kitab tafsirnya.
Sementara itu, beberapa pakar tafsir lain berpendapat bahwa kata isyarat dzalika (itu), yang berarti menunjuk pada sesuatu yang jauh, bertujuan untuk memberikan kesan bahwa Kitab Suci ini berada dalam kedudukan yang amat tinggi, dan sangat jauh dari jangkauan makhluk. Namun, jika ada kata al-Kitab, atau al-Quran, yang didahului dengan isyarat dekat seperti hadza (ini), maka itu bertujuan untuk menunjukan bahwa al-Quran itu dekat tuntunannya pada fitrah manusia.
Adapun kata al-Kitab yang ditandai dengan definite article atau alif lam- ma’rifat mengandung arti bahwa Kitab itu memiliki kesempurnaan, terlebih bila dibanding dengan Kitab Allah yang diturunkan sebelumnya. Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui pelantaraan Malaikat Jibril, agar dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia. Al-Quran berisi 6.236 ayat, terdiri dari 114 surat, dan diturunkan dalam dua masa, yaitu masa ketika Nabi tinggal di Makkah dan masa setelah hijrah ke Madinah.
Laa raiba fiihi, yang berarti tidak ada keraguan pada al-Quran, merupakan kecaman dan peringatan bagi kaum Yahudi yang masih ragu pada kebenaran al-Quran. Ayat ini turun di tengah memuncaknya keraguan kaum Yahudi pada Islam ketika Nabi membangun masyarakat Islam di Madinah (baca juga rubrik Tafsir di Hidayah edisi 79). Sementara itu, Quraisy Shihab, berpendapat bahwa maksud dari penggalan ayat ini ditujukan pada tiga jenis keraguan, yaitu ragu karena sangka buruk, ragu karena kegelisahan hati, dan ragu karena setengah-setengah.
Keraguan merupakan ekspresi pikiran yang mengandung adanya keseimbangan dua kondisi, yaitu pembenaran dan penolakan. Ketika kondisi pikiran kita memiliki porsi pembenaran 50 persen dan penolakan juga 50 persen, maka itu adalah kondisi ragu. Nah, al-Quran menyindir kepada orang yang memiliki keraguan seperti ini, dengan menyebutkan bahwa “tak ada hal yang perlu diragukan dalam al-Quran”. Sebab, semua yang terkandung dalam al-Quran adalah kabar kebenaran.

Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan
Al-Quran merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang luar biasa. Mukjizat berarti suatu peristiwa yang melampaui batas kebiasaan akal pikir manusia. Sebagai mukjizat, al-Quran tentu saja tak dapat ditiru oleh manusia biasa. Di dalamnya mengupas berbagai sendi kehidupan manusia. Dari segi bahasa, al-Quran disampaikan dengan tutur sastra yang begitu indah. Dari segi aspek ilmu pengetahuan, al-Quran mengakomodir semua bidang keilmuan. Kata Prof Dr M Dawam Rahardjo, al-Quran itu semacam ensiklopedia, yang memuat berbagai sumber kata dalam ilmu pengetahuan.
Bahkan, apa yang pernah ditemukan oleh sejumlah ilmuan di belahan dunia, ternyata sudah termuat dalam al-Quran. Seorang pakar ilmu Kelautan dari Jerman, Prof. Shroeder, juga mengakui hal ini. Kata dia, “Ilmuwan itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang tertulis dalam Al-Quran beberapa tahun yang lalu. Para Ilmuwan sekarang hanya menemukan apa yang telah tersebut dalam Al-Quran sejak 1400 tahun yang lalu.” Pendapat ini juga diiyakan oleh Prof. Alfred Kroner, Ketua Jurusan Geologi Institute Geosciences, Universitas Johannes Guttenburg, Maintz, Jerman.
Dalam hal ini, Muhammad Kamil Abdushshamad, dalam al-I’jaz al-Ilmi fil Islami al-Quran al-Karim, mencoba membeberkan satu ayat al-Quran yang di dalamnya memuat lima bidang ilmu pengetahuan. Misalnya, QS. al-Baqarah: 167. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
Pertama, yaitu menerangkan soal ilmu Falak (Astronomi), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang…” Penggalan ayat ini menjelaskan bahwa malam dan siang itu beredar dan bergantian. Satu sama lain tidak akan saling mendahului. Ini membuktikan bahwa bumi itu bulat. Jika bumi datar, maka hanya ada satu waktu saja yang terjadi. Ilmuan modern menguatkan hal ini, bahwa matahari tidak akan berbenturan dengan bulan, karena keduanya beredar di garis edar (orbit) sendiri-sendiri (lihat juga QS. Yasin: 40).
Kedua, yaitu menjelaskan tentang ilmu Kelautan. “bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia …” Penggalan ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengatur air laut sehingga mengalir sesuai dengan ketentuan-Nya. Di samping itu, penggalan ayat ini juga menjelaskan tentang adanya gelombang laut. Setidaknya, ada tiga jenis gelombang air laut (lihat pula QS. an-Nur: 40), yaitu gelombang permukaan yang terjadi karena hembusan angin dan ombak; gelombang pasang surut karena gravitasi bulan, dan gelombang dasar laut atau gelombang kompensasi (tsunami).
Jenis gelombang terakhir ini, yaitu tsunami, ternyata ada dalam al-Quran jauh sebelum ilmuan dunia menemukannya di Jepang. Jenis gelombang ini memiliki kecepatan yang sangat luar biasa, bahkan kecepatannya seperti pesawat terbang. Gelombang ini dihasilkan dari goncangan di dasar laut. Gelombang yang sangat menakutkan ini pernah menerjang negeri ini tiga tahun silam di Aceh. Korbannya mencapai ratusan ribu orang.
Ketiga, yaitu mengungkap fenomena alam dalam ilmu Pertanian (Agronomi), “apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya…” Penggalan ayat ini secara implisit menjelaskan bahwa dalam tanah terdapat bakteri nitrogen. Bakteri dalam pemahaman kimia adalah pengolah sintesis yang berarti bahwa ia menyerap nitrogen dari udara dan unsur-unsur negatif untuk diubah, sehingga menjadi zat yang siap bereaksi dan bersatu dengan hidrogen (lihat pula QS. Yasin: 33). Sebab itu, jenis bakteri ini sangat membutuhkan air hujan. Itulah sebabnya pengolahan tanah yang mati dilakukan dengan air hujan.
Keempat, yaitu menyibak perkara dalam ilmu Hewan (Zoologi), “dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan…” Penggalan ayat ini mengungkapkan bahwa Allah menciptakan hewan dengan berbagai jenis dan species yang beragam. Itulah sebabnya para ilmuan Zoologi kemudian melakukan berbagai penelitian, observasi, dan pembedahan terhadap hewan-hewan yang akhirnya membuat mereka kagum. Hewan-hewan itu ternyata mampu beradaptasi dengan lingkungannya (lihat pula QS. al-Jaatsiyah).
Para ilmuan Zoologi juga menyadari bahwa ternyata hewan-hewan itu, baik yang hidup di darat, laut maupun udara, membentuk kelompok-kelompok sosial. Di samping itu, mereka juga memiliki sistem sosial sendiri yang mengikat dan mengatur pola interaksi anggota-anggota kelompoknya. Sehingga, cara hidup dan berbagai aktivitasnya tak jauh berbeda dengan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Kelima, yaitu memaparkan rahasia dalam ilmu tinjauan cuaca (Meteorologi), “dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi…” Angin dan awan adalah unsur penting dalam memahami faktor cuaca. Allah yang mengendalikan angin dan awan, sehingga Dia pula yang menurunkan hujan, salju, maupun panas. Misalnya, ketika awan memiliki kelebihan elektron, maka muatan tersebut akan meloncat ke awan yang bermuatan positif atau kekurangan elektron. Lalu, timbullah aliran listrik yang disebut kilat (lihat pula QS. al-Baqarah: 43). Kilat terjadi karena adanya perubahan suhu yang sangat tinggi dalam waktu singkat.
Nah, dalam satu ayat saja, yaitu QS. al-Baqarah: 167, kita bisa menemukan banyak hal dalam perspektif ilmu pengetahuan. Itu baru satu ayat. Bagaimana jika semua ayat al-Quran dikaji? Tentu akan banyak penemuan ilmiah yang bisa terungkap. Jadi, jelaslah bahwa Al-Quran memang bisa mengungkap kebenaran sesuai dengan apa yang ditemukan para ilmuan saat ini. Para ilmuan dunia pun, termasuk Barat, juga mengakui bahwa al-Quran juga membeberkan sesuatu yang tak tersibak oleh ilmu pengetahuan.

Petunjuk Kaum Bertakwa
Al-Quran adalah kalam Ilahi yang tak akan bisa ditiru oleh manusia, siapapun dan sampai kapanpun. Allah menegaskan dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Israa: 88)
Al-Quran, bagi kaum yang bertakwa, adalah petunjuk yang sengaja Allah turunkan kepada mereka. Hal ini bisa terlihat dari ayat ini, “Al-Kitab itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.” Kata hudan, yaitu petunjuk, merupakan bentuk kata jadian (isim masdar). Artinya, ia tidak terikat oleh masa. Isim masdar bisa mengandung tiga masa, yaitu masa lampau, sekarang, maupun nanti. Maksudnya, al-Quran itu menjadi petunjuk bagi orang bertakwa hingga kapan pun.
Kata hudan (petunjuk atau hidayah) yang ditujukan kepada orang bertakwa, menurut al-Maragi, berarti jalan lurus. Sebab, yang ada bukan hanya hidayah tapi juga pertolongan atau kekuatan untuk melaksanakan hukum-hukum dalam al-Quran. Hal ini karena orang bertakwa (muttaqiin) mengambil manfaat dari isi al-Quran, sekaligus mengamalkan kandungannya. Tapi, jika kata hudan itu ditujukan kepada selain orang yang bertakwa, maka hanya mengandung pengertian sebagai petunjuk menuju kebaikan saja. Tak lebih dari itu.
Muttaqiin adalah bentuk jamak dari muttaqin, yang berarti orang-orang bertakwa, yang diambil dari kata jadian bahasa Arab, yaitu ittiqa. Sejumlah ulama berbeda pendapat tentang definisi takwa. Namun, ada satu hal menarik yang ditemukan oleh Prof Dr Syed Husain M. Jefri. Ia pernah melakukan penelitian tentang kata taqwa atau muttaqiin pada sajak-sajak dan kesusastraan Arab sebelum Islam datang. Hasilnya menunjukan bahwa istilah taqwa ternyata tidak pernah ada dalam sastra Jahiliyah. Ia hanya menemukan kata tersebut dalam bentuk kata kerja, yaitu attaqa, yattaqi, yattaquna.
Kata-kata itu, kata M. Jefri, tidak memiliki konotasi relijius, moral, maupun etika apapun. Kata-kata itu lebih diartikan sebagai ‘menjaga dari seseorang dari sesuatu yang membahayakan’. Oleh al-Quran, kata-kata itu kemudian diangkat dalam bentuk kata jadian, dan juga dengan pengertian moral dan etika yang mendalam. Istilah taqwa, dengan kata-kata jadiannya, disebut sebanyak 242 kali. 102 diantaranya ada dalam surat Makiyah dan 140 dalam surat Madaniyah.
Hasan Basri, seorang sufi terkemuka, mendefinikan kata taqwa sebagai bentuk takut pada apa yang diharamkan dan menjalankan apa yang diwajibkan. Dengan kata lain, menjauhkan diri pada sesuatu yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Definisi ini kemudian dipersingkat oleh Quraisy Shihab dengan mengatakan bahwa taqwa adalah menghindar.
Kata dia, ada tiga hal yang perlu dihindari sebagai wujud taqwa. Pertama, menghindari dari kekufuran dengan jalan beriman kepada Allah. Kedua, berupaya melaksanakan perintah Allah sepanjang kemampuan yang dimiliki dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, menghindar dari segala aktivitas yang menjauhkan pikiran dari Allah swt.
Ada satu riwayat yang menarik dalam soal ini. Suatu hari, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa. “Hai Ubay, apa itu takwa?” kata Umar bin Khattab.
Lalu Ubay menjawabnya sambil bertanya, ”Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”
“Pernah,” jawab Umar, singkat.
“Apakah gerangan yang engkau lakukan?” tanyanya lagi.
“Aku berhati-hati dan berupaya menghindarinya,” jawab Umar dengan pasti.
Kata Ubay dengan santai, “Itulah takwa.”
Beberapa pendapat ini sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan M. Dawam Rahardjo. Menurut dia, kata taqwa tidak harus selalu dikonotasikan dengan upaya menghindar, atau ‘takut’. Sehingga, kata taqwa sering disinonimkan dengan kata khasyiya, khauf, dan ru’b, yang juga berarti ‘takut’. Kata taqwa sama sekali bukan ‘takut’ dalam arti yang biasa. Sebab, ketiga kata itu merupakan implimentasi dari bentuk taqwa, namun bukan arti takwa itu sendiri (coba lihat QS. An-Nisa: 9 dan QS. Al-Baqarah: 38).
Takwa, menurut Prof Dr Hamka, justru terkadang mengandung arti berani dan melawan takut itu sendiri. Ini terlihat dari beberapa ayat al-Quran yang menyebutkan ciri-ciri orang bertakwa. Misalnya, tindakan mampu bersikap sabar (lihat QS. Al-Baqarah: 155), tidak ada suasana ketakutan dan kesengsaraan sehingga mau melaksanakan sedekah (lihat QS. Al-A’raf: 35), percaya kepada Tuhan yang kemudian diikuti dengan upaya terus-menerus untuk berjalan di jalan yang benar sehingga ia kehilangan rasa takutnya (lihat QS. Al-Ahqaf: 13), dan lainnya.
Sementara itu, Sayyid Quthb dalam Tafsir Fizilalil Quran mendefiniskan takwa sebagai sensitivitas dalam hati, kepekaan dalam hati, dan bersikap responsif. Artinya, takwa tidak hanya sekadar memahami teks-teks al-Quran maupun hadits. Takwa adalah implimentasi pada pemahaman al-Quran dan hadits. Di sini, takwa lebih berfungsi sebagai wujud aksi, ketimbang argumentasi. Sebab, orang yang bertakwa adalah orang yang memahami al-Quran dengan sepenuh hati dan kemudian mengamalkannya dengan sungguh-sungguh.Nah, dalam ayat ini, ada tiga hal yang saling berhubungan erat serta memiliki hukum sebab-akibat, yaitu al-Quran, petunjuk (hidayah), dan ketakwaan. Maksudnya, jika kita percaya pada al-Quran, maka al-Quran akan menjadi petunjuk. Jika kita diberi petunjuk, maka kita akan diantarkan pada derajat ketakwaan di mata Allah. Seperti apakah sifat dan ciri-cirinya? Ini akan kita temukan pada kelanjutan ayat ini.

Tidak ada komentar: